Headline
Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.
Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.
HARI menjelang petang, Senin (8/8), ketika Media Indonesia mengunjungi Timboel Art Gallery di Desa Kasongan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, kesan artistik sudah terasa begitu berdiri di depan bangunan tersebut. Berbagai kerajinan seni kriya gerabah dan akar-akaran aneka warna serta bentuk mendominasi isi galeri milik seniman Timbul Raharjo tersebut. Seniman asli Kasongan ini punya banyak atribut, artist, pengajar di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, pebisnis, hingga pengorganisasi pameran seni kriya. Dari berbagai predikat yang disandangnya, satu benang merah prestasi yang telah diukir Timbul membawa seni kriya Indonesia ke pentas dunia, dari Australia, Korea, Jepang, Timur Tengah, Eropa, hingga Amerika. "Baru tadi pagi pulang dari Los Angeles untuk belanja ilmu, seperti market intelligence." kata Timbul. Menurut dia, sebagai orang yang bergelut dengan seni kriya, belajar menjadi hal yang harus terus dilakukan. Dengan terus belajar, dirinya bisa membuat desain baru yang bagus dan bisa diterima pasar yang dituju. "Saya melakukan survei untuk memutuskan produk yang akan dilempar ke pasar Amerika," kata dia.
Survei tersebut penting dilakukan karena sesuai kecenderungan kemauan pasar tiap tahun berubah dan di tiap negara juga berbeda. Pria yang telah mengekspor kerajinan seni kriya sejak 1998 ini mengaku hafal betul keinginan konsumen. Menurut dia, tiap-tiap negara memiliki selera berbeda-beda. Misalnya, di Australia seleranya bahannya agak keras, Amerika lebih eksklusif dan ada yang menginginkan harga murah, sedangkan Eropa cenderung memilih karya yang unsur seninya lebih tinggi. Timbul menceritakan kemampuannya dalam bidang seni kriya sangat dipengaruhi lingkungan tempat tinggalnya yang berada di Kasongan. "Saya lahir di Kasongan. Sejak lahir saya sudah mengenal bentuk-bentuk gerabah," kata dia. Seniman,pebisnis,dan pengajar Karena sangat dekat dengan kerajinan gerabah, Timbul pun jatuh cinta dengan gerabah dan mulai menggelutinya secara serius pada sekitar 1993.
Tidak hanya berbekal pengetahuan yang didapat secara autodidak, pria kelahiran 8 November 1969 itu juga memperdalam ilmunya di dunia akademis di Jurusan Seni Kriya di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Ketekunannya di dunia seni kriya tersebut berbuah manis. Sekitar 18 tahun, Timbul memasarkan karyanya ke berbagai belahan dunia. "Ekspor pertama saya ke Australia, pesanan untuk membuat Circle of Friends," kata dia. Ekspor ke Australia tersebut bermula dari seorang Kanada yang datang ke Kasongan dan melihat proses pembuatan gerabah di Kasongan. Orang Kanada tersebut terkesan, kemudian menceritakan kepada teman-temannya hingga sampai ke orang Australia. Dari cerita terebut, ada orang Australia yang tertarik dan memesan desain gerabah dengan nama Circle of Friends. Saat itu, desain Circle of Friends pun kala itu sempat menjadi desain yang sangat populer di Kasongan. Tidak hanya dirinya yang membuat, tetapi juga diduplikat oleh perajin gerabah di Kasongan yang lain.
Siklus pasar global
Dari situ, Timbul kemudian mulai merambah pasar ekspor. Bahkan, pada 2000, dia sudah mengirim paling tidak 10 kontainer per bulan. Tidak hanya Australia, tetapi juga negara-negara lain mulai dia rambah, seperti Korea, Jepang, Belanda, Italia, Prancis, Spanyol, Jerman, hingga Amerika. "Dari 2000 sampai 2007, bisnis keramik untuk pasar ekspor sangat padat. Mulai 2008, saat krisis ekonomi Amerika terjadi, ekspor menurun, dari 40 kontainer per bulan menjadi 1-2 kontainer per bulan," kata dia. Beruntung antisipasi terhadap penurunan pasar ekspor telah dilakukan, yaitu menguatkan pasar dalam negeri dengan membuka ruang pamer yang representative di Yogyakarta dan di Bali. Cara tersebut membuat produksinya tetap stabil. Seiring krisis ekonomi di Amerika berlalu, pasar ekspor pun perlahan membaik. Kini dia bisa mengekspor sekitar 5-10 kontainer sebulan. Selain menguatkan pasar lokal, krisis ekonomi di Amerika pada 2008 juga membuat Timbul mulai memasuki fine art dan object art. Fine art berarti membuat karya hanya sebuah, sedangkan object art berarti membuat karya dalam jumlah terbatas, misalnya 6-10 buah. Dari harga, karya fine art merupakan yang paling mahal karena hanya dibuat sebuah. Di bawahnya ada object art yang dibuat dalam jumlah tak terbatas.
"Kebanyakan karya-karya saya berwujud tiga dimensi sehingga eksplorasi reproduksinya mahal jika hanya dibuat dalam jumlah terbatas," kata dia. Timbul mengaku walau harga lebih mahal, object art dan fine art juga memiliki potensi pasar, tetapi hanya orang-orang khusus yang bersedia mengoleksinya. Untuk dapat tetap berkarya dengan fine art, lanjut dia, harus tetap mencari penyeimbang. Prinsip dia, untuk berkarya di fine art, seniman juga harus bekerja dulu supaya dapur tetap mengepul dan perut tidak lapar. Hingga saat ini, seni yang populer (kerajinan kriya)lah yang bisa menghidupinya, sedangkan fine art menjadi ekspresi alternatif. Untuk itu, seniman juga harus tahu tentang ilmu bisnis agar mereka mengetahui pasar dari karya mereka. "Kalau terus memproduksi, tetapi tidak ada pasar pasti tidak akan jalan," kata dia. Walau demikian, Timbul mengatakan tetap menyisihkan waktu khusus untuk membuat karya seni fine art. Ia menargetkan dalam setahun paling tidak melakukan sekali pameran tunggal dengan sekitar 10 karya. Bagi Timbul, ada waktunya ia menjadi entrepreneur alias pembuat kerajinan dan ada waktunya pula ia menjadi seniman dengan menghasilkan fine art atau karya seni murni. "Ketika menjadi seniman, saya harus menggunakan intuisi dan kebebasan dalam berkarya. Saya melupakan kalkulasi ekonomi. Namun, ketika menjadi entrepreneur, yang dipikirkan adalah berapa banyak kerajinan yang bisa dijual, menggunakan kalkulasi ekonomi," kata dia.
Kompetisi global
Dalam pasar kriya global, Indonesia memiliki banyak pesaing. Salah satu pesaing yang paling kuat ialah Tiongkok. "Dalam kerajinan kriya, posisi kita bagus, tetapi susah melawan Cina," kata dia. Hasil kerajinan kriya di Tiongkok lebih murah dengan teknologi yang dimiliki lebih maju. Ia mencontohkan, kemampuan mengukir perajin di Indonesia, misalnya bisa membuat 4-5 kerajinan seminggu. Namun, di Tiongkok, dengan mesin yang mereka miliki, mereka bisa menghasilkan 10 kerajinan dalam waktu sehari dengan kualitas yang rapi. Timbul mengatakan, walau dari sisi kemampuan dan teknologi yang dimiliki kalah, kerajinan seni kriya dari Indonesia memiliki keunggulan, terutama dari desain dan material. Peluang yang bisa dimanfaatkan, yaitu dengan mengombinasikan desain lokal yang bermacam-macam dengan desain Eropa atau Amerika. Selain itu, karakteristik material di Indonesia dinilai sangat khas dan menarik sehingga membuat kerajinan kriya dari Indonesia memiliki keunggulan. Strategi pemasaran yang tepat, lanjut dia, juga menjadi kunci untuk mendapatkan pembeli di pasar global. Selain melalui internet, pameran seni kriya bertaraf internasional menjadi sarana penting yang harus rutin dilakukan.
"Daripada mengikuti pameran di luar negeri, pameran internasional dalam negeri lebih efektif mendatangkan pembeli dari luar negeri," kata dia. Yang terpenting, pemilihan waktu pameran harus tepat sehingga banyak pembeli dari luar negeri yang datang. Ia mencontohkan, gelaran Jogja International Furniture & Craft Fair Indonesia (Jiffina) 2016 yang baru digelar pada 13-16 Maret 2016. Pameran tersebut sengaja dibuat sebelum acara rutin Canton Fair yang diadakan di Tiongkok. Harapannya, para pembeli yang hendak ke Canton Fair singgah terlebih dulu di Jiffina. Buktinya strategi tersebut berhasil. Dari 3000 undangan yang disebar, pameran tersebut bisa mendatangkan 1.250 pembeli dari berbagai negara. Berbagai tantangan yang pernah dirasakannya membuat Timbul tetap optimistis dengan industri kerajinan kriya di Indonesia. Tidak hanya menjadi tuan rumah di negeri sendiri, tetapi juga merambah hingga pasar global. (M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved