Headline
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia
MALAM itu, sekitar pukul 18.00 WIB, langit sudah pekat menyelimuti Dusun Bambangan
DUA dari banyak permasalahan pelik dunia ialah soal emisi karbon dan ketersediaan energi.
Emisi karbon yang tetap tinggi berarti mempercepat laju pemanasan global.
Untuk menekan emisi, berarti pula mendorong teknologi pembangkit energi yang lebih ramah lingkungan.
Sebabnya pembangkit-pembangkit menjadi sumber besar emisi karbon.
Di sisi lain, dunia juga menghadapi ancaman krisis energi seiring dengan menipisnya bahan bakar fosil.
Dua tantangan besar itulah yang hendak dijawab tim peneliti dari Cornell University, Amerika Serikat.
Tim yang terdiri dari Profesor Teknik Lynden Archer dan mahasiswa doktoral Wajdi Al Sadat mengembangkan sel penghasil energi yang menggunakan reaksi elektrokimia untuk mengikat karbon dioksida (CO2) sekaligus menghasilkan energi listrik.
Seperti dijelaskan dalam jurnal Science Advances, sel penghasil energi tersebut menggunakan aluminium (Al) sebagai anode dan campuran aliran CO2 dan oksigen (O2) sebagai bahan aktif untuk katode.
Reaksi elektrokimia di antara anode dan katode akan dapat mengikat CO2.
Tidak hanya itu, CO2 kemudian diproses menjadi senyawa-senyawa kaya karbon.
Proses pengikatan CO2 itu sekaligus akan menghasilkan listrik dan produk sampingan berupa oksalat yang bernilai tinggi.
"Kenyataan bahwa kami mampu mendesain teknologi penangkap karbon yang sekaligus menghasilkan listrik, di dalam dan dari sistemnya sendiri, merupakan sesuatu yang penting," kata Archer kepada situs Science Daily.
Pernyataan Archer memang tidak berlebihan karena penemuannya bisa menawarkan solusi terhadap borosnya penggunaan energi dalam teknologi penangkap karbon (carbon capture) yang ada sekarang ini.
Energi untuk menangkap karbon itu bisa menghabiskan hingga 25% energi yang dihasilkan pembangkit listrik.
Hal itu terjadi karena penangkapan karbon menggunakan cairan atau padatan yang dipanaskan.
Gas pekat yang dihasilkannya kemudian harus dikompres dan ditransportasi ke industri yang dapat memanfaatkan gas itu kembali atau menyimpannya di dalam tanah.
Proses ini tentunya membutuhkan infrastruktur tersendiri.
Terlebih tingginya penggunaan energi dalam penangkapan karbon membuat produk yang dihasilkan menjadi tidak komersial.
Setara sistem baterai tertinggi
Energi yang dihasilkan dari teknologi tim Cornell itu tidak sepele.
Tim menyebutkan bahwa sel elektrokimia itu bisa menghasilkan arus listrik sebesar 13 amper jam per gram katode dengan pelepasan tegangan listrik sebeaar 1,4 volt.
Energi yang dihasilkan itu dianggap setara dengan energi yang dihasilkan pada sistem baterai dengan kepadatan energi tertinggi.
Masih ada satu lagi keunggulan sel itu, yakni dihasilkannya superoksida atau hiperoksida peralihan yang terbentuk ketika kadar dioksida ditekan di katode.
Hiperoksida bereaksi dengan CO2 sehingga menghasilkan karbon-karbon oksalat yang banyak dibutuhkan industri, termasuk industri farmasi, serta peleburan serat dan logam.
Dengan kemampuan itu, Archer menekankan konfigurasi sel elektrokimia bisa disesuaikan dengan jenis oksalat yang ingin dihasilkan perusahaan pembangkit listrik.
Penggunaan yang lebih luas pada sel elektrokimia itu diungkapkan Al Sadat.
Salah satunya ialah untuk teknologi penangkap karbon yang dipasang di kendaraan. Teknologi model itu telah dikembangkan Al Sadat untuk Saudi Aramco.
"Teknologi ini sangat cocok untuk sistem penangkap karbon di kendaraan, terutama jika dikaitkan dengan sistem pembakaran pada mesin dan sistem percepatan yang mengandalkan energi listrik," ujar Al Sadat.
Ia juga mengatakan aluminium menjadi anode yang paling cocok karena tersedia dalam jumlah banyak, lebih aman jika dibandingkan dengan logam padat energi lainnya, dan lebih murah jika dibandingkan dengan litium dan sodium.
Selain itu, tingkat energinya juga setara dengan yang dimilki litium.
Satu kelemahan teknologi itu diakui terkait dengan elektrolit, yakni larutan yang menghubungkan anode dengan katode.
Elektrolit tersebut sangat sensitif terhadap air.
Di Indonesia, penggunaan dan pengembangan teknologi penangkap karbon juga terus berkembang. Salah satu yang menarik ialah cara biologi dengan menggunakan mikroalga.
Tumbuhan yang umumnya bersel satu itu hidup alami di air tawar dan biasa ditemui di air limbah.
Dalam penelitian di laboratorium, mikroalga dapat menyerap sekitar 60 ribu ppm CO2 per hari.
Di sisi lain, sesungguhnya cara terbaik menekan laju emisi karbon ialah dengan pengurangan sejak sumbernya.
Artinya penggunaan energi ramah lingkungan ketimbang energi fosil. (Big/M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved