Headline

Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.

Fokus

Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan

Melanjutkan Program Pak Anies

Junaidi Abdul Munif
08/8/2016 05:40
Melanjutkan Program Pak Anies
(Ilustrasi--MI/Duta)

RESHUFFLE Kabinet Kerja yang dilantik pada Rabu (27/7) mengejutkan banyak pihak, terutama digantinya Anies Baswedan dari kursi menteri pendidikan dan kebudayaan.

Anies digantikan Muhajir Effendi, nama yang mungkin kurang populer di masyarakat karena sebelumnya jarang muncul di televisi.

Anies menjadi menteri pendidikan pada era Jokowi-JK dengan jargon revolusi mental, yang dalam konteks nomenklatur dan paradigma pendidikan, hal itu diwujudkan dengan pemisahan pendidikan dasar dan menengah dari pendidikan tinggi.

Pendidikan tinggi mulai 2014 digabungkan dengan Kementerian Riset dan Teknologi.

Kinerja Anies Baswedan dinilai tidak terlalu buruk kendati pada akhirnya dia memilih merevisi Kurikulum 2013 (K-13), dibandingkan dengan menggantinya dengan kurikulum baru.

Terlalu banyak risiko seandainya K-13 diganti 100%.

Sampai saat ini pun pelatihan K-13 masih berlangsung dengan perbaikan-perbaikan yang dicetuskan anak buah Menteri Anies.

Nasib K-13 pun mungkin akan semakin tidak jelas disebabkan bergantinya pucuk kepemimpinan.

Selain itu, ada dua kebijakan Anies yang menarik dan memunculkan kontroversi.

Pertama ialah usul pendirian direktorat keayahbundaan di awal dia dilantik serta mengantar anak sekolah di hari pertama tahun ajaran baru di akhir kepemimpinan Anies.

Direktorat keayahbundaan dapat dikatakan terlalu dini dimunculkan ketika pemersatuan lembaga pendidikan dan keluarga belum ada relasi yang kuat.

Dua kebijakan tersebut sesungguhnya menarik jika dilihat sebagai upaya bagaimana orangtua dan keluarga terlibat terhadap pendidikan anak.

Terlibat di sini diharapkan ialah terjadinya komunikasi yang intens dan pengawasan proses belajar murid antara sekolah dan murid.

Bahwa tanggung jawab mencerdaskan anak ialah kombinasi dari peran sekolah dan keluarga, dengan masing-masing memiliki peran yang penting.

Mengantar anak sekolah di kota-kota besar kini telah menjadi keniscayaan.

Jauhnya jarak antara rumah ke sekolah dan ramainya lalu lintas yang dapat mengancam keselamatan siswa menjadi pembenaran bahwa mengantar sekolah diterima di masyarakat perkotaan.

Tidak aneh pula di kota-kota banyak sekolah menambah fasilitas antar-jemput siswa dari rumah ke sekolah.

Namun, 'mengantar anak ke sekolah' itu kebanyakan memang masih sebatas mengantarkan secara fisik.


Mencontoh pesantren

Harus diakui kebijakan tersebut tertinggal jauh dari pesantren. Dalam kultur masyarakat pesantren, menyatunya ikatan kiai, keluarga kiai, dan pondok pesantren terjalin sangat erat dan menjadi keniscayaan.

Sejak dahulu para orangtua akan mengantarkan anak mereka (sowan) ke kiai.

Selain mendaftar di lembaga pendidikan pesantren, orangtua yang mengantar anak mereka akan secara khusus meminta kiai (pengasuh pesantren) untuk mendidik anak mereka, terutama dalam hal mental dan spiritual.

KH Musthofa Bisri dalam satu pengajiannya bercerita ketika ayahnya, KH Bisri Musthofa, menitipkan dua anaknya (KH Cholil Bisri dan KH Musthofa Bisri) kepada Kiai Ali Maksum, pesan yang disampaikan sungguh luar biasa.

Sang ayah meminta KH Ali Maksum untuk mengajar anaknya dengan benar, terutama mengajarkan membaca Surah Al-Fatihah dengan sempurna.

KH Bisri Musthofa 'mengancam' akan menggugat Kiai Ali Maksum di akhirat jika shalat dua anaknya tidak sah 'hanya' karena bacaan Al-Fatihah mereka tidak benar.

Selain itu, kultur ikatan tersebut tumbuh subur dalam tradisi khaul (ulang tahun) wafatnya kiai.

Banyak alumnus dengan membawa keluarga mereka akan mendatangi khaul kiai pesantren tiap tahun.

Tradisi pesantren yang unik itu menunjukkan betapa ikatan guru-murid-almamater terjalin dalam rentang waktu yang lama dan turun-temurun.

Di dunia sekolah dan perguruan tinggi, memang banyak diadakan pertemuan alumni, tetapi narasinya tidak seindah dengan pertemuan alumni pesantren lewat peristiwa khaul.

Cerita itu menunjukkan tugas guru (kiai) sebetulnya sangat berat karena dampaknya bisa digugat sampai di kehidupan akhirat.

Setelah santri lulus atau keluar, orangtua juga banyak yang secara khusus kembali sowan untuk menjemput anak mereka.

Narasi tersebut masih ditambah dengan banyaknya kunjungan alumnus kepada kiai ketika sedang memiliki tujuan-tujuan tertentu, minta restu akan menikah, meminta berkah doa untuk anak yang dikandung, bahkan meminta ijazah agar cita-cita mereka berhasil.


Melaporkan guru

Ketika saat ini begitu mudahnya orangtua melaporkan guru karena melakukan 'kekerasan fisik' kepada murid, ikatan guru-murid-keluarga harus terjalin dengan baik.

Hukuman fisik memang sudah tidak relevan. Namun, melaporkan guru karena melakukan hukuman fisik kepada murid juga sebuah kekonyolan.

Ada nuansa ketidakpercayaan sepenuhnya dari orangtua kepada guru sehingga muruah guru pun meluntur.

Fenomena itu mungkin akibat karena relasi sekolah dan keluarga berjalan sebatas formalistis.

Profesionalisme sekolah dimaknai orangtua dalam tafsir sempit.

Sekolah memerlukan murid dan guru ialah 'pelayan ilmu' bagi siswa.

Atau sangat mungkin orangtua percaya sepenuhnya kepada sekolah sehingga tidak perlu melakukan komunikasi dengan sekolah.

Dua hal tersebut merupakan dilema tafsir atas sekolah yang sedikit banyak menghinggapi orangtua murid.

Pada konteks seperti itulah relevansi orangtua mengantar anak ke sekolah dapat menjadi pintu masuk hubungan yang harmonis antara orangtua siswa dan guru.

Orangtua dapat sejenak melihat proses belajar di kelas, bertukar pengalaman dengan sesama wali murid yang sama-sama mengantarkan anak, dan diskusi intensif dengan guru tentang perkembangan belajar anak.

Tidak aneh pula jika sekolah kini sedikit demi sedikit 'menyontek' tradisi pesantren.

Misalnya mencium tangan guru, yang seolah menjadi keharusan di pesantren.

Sebagai penguatan edukasional, program Mendikbud Muhajir Effendi dapat melanjutkan program mengantar anak sekolah itu dengan konsep dan aktualisasi yang lebih matang.

Jangan sampai adagium ganti menteri ganti kebijakan terjadi lagi.

Koreksi atas praksis pendidikan memang perlu dan harus sebagai bentuk adaptasi dan antisipasi dari situasi yang terus berubah, sebagaimana Menteri Anies melarang MOS dan PR agar sekolah tidak menjadi beban meskipun orangtua anak justru merasa menjadi kelinci percobaan kurikulum dan praksis yang berubah, dan merasa aneh, sekolah, kok, tidak ada PR yang harus dikerjakan.

Akhirnya, selamat datang Pak Muhajir Effendi.

Semoga kualitas pendidikan dasar dan menengah kita jadi lebih baik.

Junaidi Abdul Munif

Direktur el-Wahid Center, Semarang.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zen
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik