Headline
Pemerintah tegaskan KPK pakai aturan sendiri.
SETIAP 23 Juli selalu diperingati sebagai Hari Anak Nasional.
Pada 2016 ini, tema peringatan Hari Anak Nasional (HAN) ialah Akhiri kekerasan pada anak, sebuah tema yang terus menjadi pertanyaan banyak orang tua dan masyarakat, mengapa kekerasan pada anak terus terjadi, dan bahkan yang lebih membingungkan ialah bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi di sekolah yang notabene merupakan institusi yang seharusnya bebas dari unsur-unsur kekerasan.
Sekilas masyarakat awam seolah tak habis pikir, jika kekerasan terhadap anak masih terjadi di tingkat sekolah, bagaimana di luar sekolah?
Pastilah kekerasan sudah menjadi endemis yang bisa mengubah nasib bangsa ini 20 tahun ke depan.
Komite Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menyatakan bahwa kekerasan di sekolah meningkat dari 147 kasus pada 2012 menjadi 255 kasus pada 2013 (Said, 2014).
Sementara itu, Studi yang dilaksanakan oleh The International Center for Research on Women (ICRW) dan Plan International pada 2014 menunjukkan bahwa 84% anak usia sekolah di Indonesia dilaporkan mengalami berbagai bentuk kekerasan (Tempo, 2015).
Kekerasan yang dilakukan teman sebaya maupun tenaga pendidik dan tenaga nonpendidik ini meliputi kekerasan berbasis gender, kekerasan fisik dan seksual, kekerasan psikis, dan ancaman atas kekerasan yang terjadi, baik di sekolah, dalam perjalanan menuju sekolah, maupun di rumah (Plan International, 2015).
Tingginya kasus kekerasan pada anak ini sangat kontras dengan apa yang ingin dicapai melalui sistem pendidikan Indonesia, yaitu membentuk anak yang berbudi pekerti luhur.
Kekerasan yang terjadi pada anak ialah hasil tindakan dari orang dewasa dan dari anak yang meniru dari sekeliling mereka.
Agar anak terhindar dari kekerasan dan juga terhindar dari menjadi pelaku kekerasan, ada dua hal yang perlu dilakukan.
Pertama, orang dewasa wajib menghidupi nilai-nilai damai, dan kedua, orang dewasa wajib menanamkan nilai-nilai damai pada anak.
Nilai-nilai apa saja yang perlu dihidupi dan ditanamkan?
Ada enam nilai-nilai dasar, yaitu penerimaan diri sendiri, menyelesaikan masalah tanpa kekerasan, menjunjung nilai keadilan, menghargai perbedaan, bertanggung jawab, dan mencintai alam sekitar (Swee-Hin, 2004).
Dalam kaitannya dengan pendidikan untuk anak, nilai-nilai dasar ini perlu kita terjemahkan dalam berbagai bentuk kegiatan agar anak bisa menjadi individu yang damai.
Segitiga damai
Penanaman nilai damai pada anak memerlukan kerja sama dari tiga elemen, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Tanggung jawab untuk memberikan pendidikan yang baik dan juga perlindungan pada anak bukan hanya milik keluarga dan sekolah. Masyarakat luas juga ikut bertanggung jawab.
Ketiga komponen ini punya fungsi dan tugas masing-masing dalam memberi pendidikan dan perlindungan kepada anak.
Ketiga elemen ini harus menyadari rangkaian substantif kekerasan dan juga kedamaian karena setiap perilaku kekerasan pasti akan memengaruhi keharmonisan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Keluarga ialah benteng utama pendidikan dan perlindungan anak.
Orang tua dan anggota keluarga yang lain wajib melihat lagi apakah situasi di rumah dan keluarga sudah kondusif untuk pendidikan dan perlindungan anak.
Pemberian perhatian dan kasih sayang pada anak yang menekankan pada penanaman nilai damai perlu dikedepankan.
Sudahkah kegiatan-kegiatan di rumah mampu membantu anak untuk tumbuh menjadi pribadi yang damai?
Ada banyak kegiatan keluarga yang bisa digunakan sebagai sarana penanaman nilai-nilai damai, seperti membantu membersihkan rumah, acara rekreasi bersama, berkunjung ke toko buku, dan membaca cerita untuk anak bisa dikondisikan sebagai kegiatan penanaman nilai damai.
Nilai damai juga bisa dikembangkan dengan menanamkan rasa empati pada anak dengan mengajak mereka sesekali berkunjung ke panti asuhan yatim-piatu, panti jompo, serta rumah sakit dalam skema belajar-mengajar di sekolah.
Di sekolah, tenaga pendidik, terutama guru yang selalu berinteraksi dengan murid juga punya kewajiban untuk menanamkan nilai-nilai damai dalam segala bentuk kegiatan pembelajaran, baik di dalam kelas maupun di luar kelas.
Semua mata pelajaran bisa digunakan sebagai sarana penanaman nilai damai.
Sebagai contoh, mata pelajaran matematika yang membahas tema perkalian dan pembagian menggunakan cerita kehidupan seorang tukang becak yang perlu membagi penghasilannya untuk berbagai kebutuhan keluarganya.
Begitu pula dengan mata pelajaran-mata pelajaran yang lain, para guru bisa secara kreatif menyisipkan nilai-nilai damai dalam kegiatan pembelajaran.
Yang tidak kalah penting ialah untuk selalu mengajak murid melakukan refleksi di akhir pembelajaran dan mendiskusikan kaitan antara mata pelajaran dengan hidup sehari-hari para murid sehingga mereka paham atas manfaat pembelajaran yang dipelajari di sekolah untuk hidup mereka.
Anggota masyarakat luas juga perlu ingat bahwa mereka ikut bertanggung jawab dalam pendidikan dan perlindungan anak.
Masyarakat perlu selalu menyadari bahwa mereka ikut berkontribusi dalam membangun situasi yang nyaman dan aman untuk anak, yakni selalu ingat bahwa anak belajar dari apa yang dilihat di sekeliling mereka, bukan hanya dari keluarga dan sekolah.
Sebagai contoh, apakah stasiun televisi sudah memberikan tontonan yang mendidik untuk anak?
Apakah kita yang biasa menggunakan media sosial, sudah memikirkan dengan baik dampak postingan yang kita bagikan di media sosial pada anak yang melihat postingan kita?
Semua bentuk komunikasi yang langsung maupun tidak langsung ini sangat berpengaruh pada pola pikir masyarakat yang bisa berujung pada tindak kekerasan kepada anak.
Pembekalan
Keluarga, sekolah, dan masyarakat ialah satu kesatuan dalam pendidikan dan perlindungan anak. Hanya dengan kerja sama dari tiga elemen ini kekerasan pada anak bisa dihilangkan.
Namun lebih dari itu, kita tidak sekadar ingin agar anak-anak bebas dari kekerasan, tetapi juga ingin agar mereka tumbuh menjadi individu-individu yang damai.
Pada 2013, di sebuah sekolah dasar di Kediri, Jawa Timur, seorang pakar pendidikan, Ahmad Baedowi, menyatakan bahwa kita tidak tahu masalah apa yang akan dihadapi anak-anak dalam kurun waktu 10 tahun mendatang.
Yang bisa kita lakukan hanyalah membekali mereka dengan keterampilan-keterampilan yang membuat mereka mampu menyelesaikan masalah di masa depan dengan cara-cara yang damai dan tanpa kekerasan.
Baik sekolah, orang tua, ataupun masyarakat, hemat saya perlu memikirkan solusi jangka pendek dan menengah dalam mengantisipasi tindak kekerasan kepada anak.
Hal ini bisa dilakukan dengan menambah kegiatan sekolah yang berorientasi pada penanaman rasa aman dan damai dengan membentuk kelompok-kelompok bina damai di tingkat sekolah, tingkat rukun keluarga, hingga masyarakat luas.
Perlu dipikirkan secara bersama agar kelompok bina damai yang dibangun di sekolah dapat berkontribusi terhadap kelompok bina damai di keluarga dan masyarakat, dengan catatan semua orang tua dan masyarakat peduli dengan apa yang terjadi di sekolah pada anak-anak mereka.
Membentuk kelompok bina damai bisa difasilitasi dengan beragam cara dan pendekatan, sepanjang tujuannya tidak keluar dari koridor pendidikan secara umum.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved