Hari Pertama Sekolah

Ahmad Baedowi Direktur Pendidikan Yayasan Sukma,Jakarta
18/7/2016 06:10
Hari Pertama Sekolah
(MI/ADAM DWI)

ORANGTUA mengantar anaknya ke sekolah, apalagi di hari pertama, sebenarnya merupakan momentum untuk membangkitkan kembali antusiasme dan peran serta masyarakat terhadap pendidikan anak-anak mereka.

Ada jutaan cerita inspiratif, baik yang positif maupun negatif, tentang impresi anak dan orangtua terhadap sekolah.

Sebagian dari mereka mungkin dihinggapi perasaan nervous dan grogi, sebagian lagi merasa exciting dan berbunga-bunga.

Namun, apa pun bentuk dan kesan anak dan orangtua terhadap sekolah di hari pertama setidaknya akan memengaruhi pola belajar anak dan persepsi orangtua terhadap sekolah.

Imbauan Mendikbud Anies Baswedan agar para orangtua mengantarkan anak-anak mereka pada hari pertama ke sekolah merupakan langkah awal untuk mengajak orangtua dan masyarakat peduli dengan sekolah.

Peran masyarakat

Tak dapat dimungkiri bahwa peran serta masyarakat terhadap pendidikan di Indonesia sangat signifikan.

Apalagi, dualisme sekolah negeri dan swasta yang merupakan bawaan generatif kolonial rupanya masih belum terselesaikan.

Pentingnya mengembalikan peran masyarakat agar bertanggung jawab terhadap persoalan pendidikan di tingkat sekolah/lokal melalui sebuah program pemberdayaan yang terstruktur dan sistematis ialah tuntutan yang harus dipenuhi pemerintah.

Jika masyarakat paham tentang penahapan perencanaan pendidikan, mengetahui arah dan tujuan sekolah, mengerti meski sedikit tentang performance indicators baik yang berkaitan dengan siswa maupun guru, serta paham tentang arah pengembangan kurikulum, sekolah pasti akan memperoleh dukungan yang baik (Boyd and Claycomb, 1994).

Bentuk pemberdayaan terhadap masyarakat paling tidak mencakup program pemberdayaan orangtua (parent empowerment) dan kemitraan masyarakat dan sekolah (partnership/communal parents and teachers collaborate equitably).

Dalam banyak penelitian tentang peran serta masyarakat dalam pendidikan, bentuk kedua berupa kemitraan sekolah dan masyarakat yang sederajat (equal partnership) merupakan strategi yang paling efektif dan memberi pengaruh besar terhadap hasil belajar siswa (Bauch and Goldring, 1998).

Dari program pemberdayaan ini akan muncul kesimpulan, apakah misalnya sebuah sekolah harus dikelola berdasarkan prinsip-prinsip pembiayaan yang berorientasi pasar atau dibangun berdasarkan kemampuan masyarakat itu sendiri.

Di tengah desakan liberalisasi ekonomi yang merambah hingga ke jantung sekolah, pola partnership sekolah dan masyarakat ialah pilihan strategis dan fundamental untuk menentukan posisi masyarakat dan sekolah secara bersamaan.

Posisi tawar masyarakat terhadap kualitas sekolah, dengan demikian, harus terus digiring ke arah pertumbuhan yang sesuai dengan tingkat kemampuan pembiayaan masyarakat itu sendiri sehingga hal ini diharapkan akan menjadi pertanda bangkitnya kepedulian masyarakat terhadap sekolah.

Banyak kasus ditemukan bahwa semakin demokratis masyarakat dalam merencanakan kebijakan sekolah, akan semakin baik kualitas sebuah proses pendidikan akan berlangsung (Resnick, 2000).

Pengalaman belajar anak

Banyak bukti dari beberapa hasil riset tentang perkembangan mental dan kejiwaan menunjukkan secara konsisten dan kuat bahwa ikatan emosional antara anak dan orangtua pada usia sekolah dasar berpengaruh terhadap kesuksesan masa depan seorang anak.

Dalam laporan Center on the Developing Child (2007) ditunjukkan secara khusus, bahwa efek kelekatan emosional antara orangtua dan anak yang benar dapat meningkatkan kapasitas arsitektur dari otak anak, yakni pada saatnya otak tersebut memberi pengaruh yang baik dalam membentuk perilaku sosial dan emosi anak yang cerdas.

Ini artinya pengalaman belajar anak, jika terjadi secara benar seperti di antarnya anak pada hari pertama sekolah, dapat membentuk jalan bagi tumbuhnya motivasi belajar secara benar.

Jika di masa depan kita menginginkan tumbuhnya karakter jujur dan kesalehan sosial yang kuat pada diri anak, pendampingan terhadap proses pendidikan anak harus terus dilakukan para orangtua.

Penelusuran secara longitudinal terhadap keberhasilan anak menunjukkan jejak yang kuat bahwa pengenalan konsep ilmu dan pendampingan orang dewasa menjadi dua hal yang signifikan untuk dilakukan secara benar.

Dengan demikian, program mengantarkan anak ke sekolah di hari pertama harus ditata secara simultan serta baik dan benar dalam sebuah rangkaian yang tidak terpisahkan dengan proses pendidikan dasar dan menengah (Schweinhart et al, 2005).

Namun demikian, kita melihat masih banyak kesalahan fundamental terjadi dalam proses pendampingan orangtua terhadap anak-anak mereka.

Beberapa kesalahan itu terlihat dalam praktik pendidikan pendampingan yang lebih banyak didominasi tuntutan perkembangan kapasitas akademik anak sehingga anak tak memperoleh pengalaman belajar yang autentik berdasarkan konteks sosial dan budaya yang terjadi di tengah-tengah kehidupannya.

Selain itu, tak sedikit dijumpai paradigma yang salah dari para pendidikan yang memandang pengalaman belajar (learning experience) sebagai suatu kondisi yang sepenuhnya kendali pembelajaran dipegang guru.

Jika kita ingat secara definitif tentang makna pengalaman belajar yang seharusnya terjadi dalam sebuah proses pendidikan, R Tyler dalam Basic Principles of Curriculum and Instruction (1926) secara konkret batasan tentang makna pengalaman belajar (learning experience).

"The term learning experience is not the same as the content with which a course deal nor the activities performed by the teacher. The term learning experience refers to the interaction between the learner and the external conditions of the environment to which he can react. Learning takes place through the active behavior of the student; it is what he does that he learns, not what the teacher does."

Jelas sekali bahwa pemaknaan pengalaman belajar yang salah lebih banyak disebabkan faktor guru yang tak memiliki pengetahuan yang cukup tentang makna pengalaman belajar.

Dalam konteks sekolah, kesalahan juga dilakukan karena orangtua jarang diberi peran oleh sekolah untuk aktif berpartisipasi dalam mendampingi anak-anak mereka di sekolah.

Hasil evaluasi lainnya di beberapa negara tentang Early Childhood Education juga menunjukkan hal yang sama. Linda Mitchell, Cathy Wylie, and Margaret Carr dalam Outcomes of Early Childhood Education: Literature Review (2008), menyimpulkan bahwa satu-satunya kelemahan dalam simpul kelekatan antara anak dan orangtua ialah kepedulian tentang aspek kesehatan anak dan ibu.

Konteks kesehatan ini juga penting selain konteks keterampilan sosial dan budaya karena dapat memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi perkembangan anak ke depan.

Sudah saatnya pemerintah melakukan evaluasi komprehensif tentang peran orangtua dalam proses mendampingi anak-anak mereka di sekolah maupun di rumah.

Berkaca pada hasil-hasil riset tersebut, jelas sekali harus ada niat baik dari para penggagas dan praktisi pendidikan anak agar mengubah gaya pendampingan dan gaya mengajar mereka.

Contextual based learning harus menjadi acuan dalam proses belajar-mengajar di usia sekolah, agar anak-anak kita tumbuh dan berkembang dengan karakter yang kuat.

Kecerdasan yang memikat serta kepedulian terhadap sesama yang mengikat rasa persatuan dan kesatuan sebagai anak bangsa.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya