Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
Kehidupan perempuan dan anak perempuan di Indonesia sedang dihancurkan oleh perubahan iklim, kata Islamic Relief dalam sebuah laporan penelitian tentang Adaptasi Perubahan Iklim dan Gender baru–baru ini.
Bukti menunjukkan bagaimana perubahan iklim dalam bentuk banjir, kenaikan suhu, dan naiknya permukaan air laut menyebabkan hilangnya pendapatan dan hari-hari sekolah serta kesehatan mental yang buruk bagi perempuan dan anak perempuan, serta memaparkan mereka pada situasi berbahaya.
Lebih dari separuh perempuan yang diwawancarai (51%) mengatakan bahwa mereka kehilangan pendapatan karena perubahan iklim, dan 41% mengatakan bahwa mereka sekarang menghadapi kesulitan keuangan sebagai akibatnya.
Dalam Seminar internasional yang bertajuk Perempuan dan Anak-Anak di Garis Depan Perubahan Iklim yang diselenggarakan oleh Yayasan Relief Islami Indonesia di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta Pusat, Kamis (24/11), Nanang S. Dirja-CEO Yayasan Relief Islami Indonesia mengatakan, "Perubahan iklim berdampak pada manusia, terutama untuk kaum perempuan, anak, orang tua dan kaum disable itu yang paling parah dampaknya. Dari hasil penelitian sudah banyak yang membuktikan hal itu.
Akibat perubahan iklim berpengaruh pada penurunan kualitas pangan, ketersedian air hingga kesehatan."
Dia menambahkan, pemerintah perlu melakukan semacam dorongan kepada semua pihak untuk memperhatikan isu perempuan,anak, kaum disable dan kelompok marginal lainnya. Komitmen dunia melalui Paris Agreement, yang namanya adaptasi perubahan iklim hatus didukung dengan dana miliaran dolar.
Menurut Bank Dunia, Indonesia berada di peringkat ke-12 dari 35 negara yang berisiko akibat bencana terkait perubahan iklim termasuk tsunami, banjir, tanah longsor, kekeringan, dan gempa bumi.
Mayoritas penduduk mencari nafkah dari perikanan dan pertanian dan sektor-sektor ini sangat berisiko terhadap kenaikan permukaan laut dan perubahan suhu dan curah hujan.
Survei yang dilakukan di Pulau Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat, mengungkapkan bahwa 55% perempuan yang diwawancarai adalah ibu rumah tangga. Sekarang sumber air mengering, mereka harus berjalan berkilometer untuk menemukan air bersih, menyisakan lebih sedikit waktu bagi mereka untuk melakukan pekerjaan berbayar dan berpotensi membahayakan diri mereka sendiri.
Perempuan juga berperan penting di sektor pertanian seperti Rokyal, 39, petani padi dan juga bekerja sebagai buruh tani mengatakan, “Tahun 2022 tingkat produksi tanaman kami menurun karena curah hujan yang tinggi. Dalam kondisi normal tanpa serangan hama, kami mendapat 1 ton dan 5 kwintal, tapi saya hanya mendapat 1 ton 3 kwintal (1300 kg) tahun ini. Saya tidak bisa menjualnya karena hanya cukup untuk konsumsi sehari-hari?”
Penelitian menunjukkan bahwa petani perempuan seperti Rokyal sangat rentan karena mereka kurang memiliki akses ke lahan dan modal. “Perubahan iklim meningkatkan ketidaksetaraan dan kesenjangan yang sudah ada sebelumnya dan kami dengan jelas melihat bagaimana hal ini berdampak negatif pada perempuan dan anak perempuan di Indonesia. Ketika keluarga menjadi miskin, perempuan dan anak perempuanlah yang menanggung bebannya.”
Ditanya apa tiga hal teratas yang paling mereka butuhkan untuk membantu mereka menanggapi perubahan iklim, hampir tiga perempat (73%) perempuan di Lombok mengatakan bantuan keuangan/modal dan lebih dari setengah (51%) mengatakan pekerjaan atau kegiatan untuk meningkatkan pendapatan mereka, diikuti oleh akses pangan yang lebih baik (47%) dan pendidikan (39%). Perempuan dan anak perempuan – lebih sedikit akses ke pendidikan dan pengambilan keputusan
Perubahan iklim di Lombok secara signifikan mempengaruhi akses ke pendidikan, dengan 66% anak perempuan dan 60% anak laki-laki harus bolos sekolah karena bencana terkait iklim dan cuaca ekstrem seperti banjir dan curah hujan yang lebih tinggi dari biasanya, sementara 14% anak perempuan dan 13% anak laki-laki (berusia antara 12-18) harus bolos sekolah untuk membantu keluarga setelah bencana iklim. Anak perempuan juga dilaporkan merasakan risiko tinggi karena harus putus sekolah karena pendapatan rumah tangga menurun karena perubahan iklim dan orang tua berjuang untuk membayar biaya sekolah.
Serupa, Fariazatul, 23, mahasiswi asal Padan Wangi mengatakan, "Lima tahun terakhir ini, hujan atau gelombang panas lebih sering, ekstrim dan lebih lama. Hal ini menyebabkan gagal panen yang berdampak pada pendapatan keluarga saya. Karena pendapatan orang tua saya dipengaruhi oleh perubahan iklim, mereka berjuang untuk membayar biaya pendidikan saya.”
Bagi penyandang disabilitas, ini bahkan lebih buruk. Hanya 14% penyandang disabilitas yang disurvei yang sadar akan perubahan iklim. Pemerintah Indonesia tidak memiliki kebijakan khusus yang berkaitan dengan disabilitas dan perubahan iklim, dan kurangnya tindakan praktis seperti penyesuaian jalur evakuasi selama bencana. (OL-12)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved