Headline

Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.

Fokus

Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.

Hutan sebagai Rumah Kedua

Fario Untung
09/6/2016 04:20
Hutan sebagai Rumah Kedua
(WHITLEYAWARD.ORG)

ATAS dasar cinta, Farwiza Farhan merasa terpanggil untuk kembali ke tanah kelahirannya di Banda Aceh.

Meski sudah berkuliah dan mendapat pekerjaan yang baik di luar negeri, ia memutuskan untuk kembali ketika melihat hutan di Aceh hancur.

Wanita kelahiran 1 Mei 1986 ini memang banyak menghabiskan masa pendidikan di negeri tetangga seperti Malaysia dan Australia.

Bahkan, Farwiza sempat beberapa tahun bekerja dan mendapatkan posisi strategis di sebuah perusahaan tambang di Brisbane, Australia.

Ketika ia pulang dan berjalan-jalan di hutan Aceh, banyak kejanggalan di hatinya yang membuat ia terusik.

Pada akhirnya, segala kenyamanan yang sudah ia miliki di negeri luar pun ditinggalkan begitu saja dan lebih memilih kembali ke hutan, tepatnya di Kawasan Ekosistem Leuser di tanah kelahirannya.

Saat bekerja bersama institusi pemerintah daerah yang mengelola kawasan itu, Farwiza lebih banyak menghabiskan waktunya di hutan.

Sejak kecil, ketertarikan pada lingkungan memang selalu ada, tapi keterlibatan yang lebih bermakna dimulai pada 2010, ketika Farwiza pulang ke Aceh dan bergabung dengan Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser, institusi pemda yang saat itu bertugas mengelola Kawasan Ekosistem Leuser.

"Saya ingin lebih terlibat dalam aksi konservasi lingkungan. Jelas karena Aceh memiliki kekayaan alam yang begitu luar biasa berupa hutan, satwa, dan laut yang indah," ungkap Farwiza kepada Media Indonesia.

Menurut anak sulung ini, segala permasalahan lingkungan bukanlah masalah yang berdiri sendiri secara independen, masalah lingkungan sering kali merupakan bagian dari masalah lain yang lebih besar, dan juga akan membawa dampak terhadap hal-hal lain.

"Ketika perambahan hutan terjadi besar-besaran, sekilas itu terlihat seperti masalah lingkungan. Namun, situasi tersebut diperparah curah hujan tinggi yang kemudian berakibat banjir dan longsor. Hal yang tadinya 'cuma' masalah lingkungan kemudian menjadi masalah pembangunan dan problem kemanusiaan," papar Farwiza.

Baginya, Leuser merupakan salah satu kawasan konservasi yang wajib dilindungi pemerintah, bukannya justru dijadikan lahan komersial untuk kawasan industri.

Pasalnya, kawasan itu merupakan tempat spesies-spesies langka yang jumlahnya semakin berkurang.

"Leuser merupakan kawasan terakhir di dunia, tempat badak masih ada, orang utan, dan gajah tinggal bersama-sama di alam liar. Leuser tak hanya penting bagi satwa, tapi juga sekitar 4 juta masyarakat di sekelilingnya yang sangat bergantung pada Leuser," kata Farwiza.

Oleh karena itu, ketika pemerintah daerah Aceh tidak memasukkan Kawasan Ekosistem Leuser ke kawasan strategis nasional, Farwiza bersama warga Aceh lain yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (Geram) menempuh jalur hukum.

"Saya bersama warga negara lain memiliki hak untuk melindungi Leuser. Jadi kami menuntut pemerintah untuk mencabut Kanun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh No 19 Tahun 2013 yang tidak memasukkan Kawasan Ekosistem Leuser ke kawasan strategis nasional," tegas Farwiza.

Salah satu pendiri Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (Haka) ini mencatat bahwa luas tutupan hutan di Leuser terus berkurang dari waktu ke waktu.

Dari 2,20 juta hektare pada 1970 menjadi 1,78 juta hektare pada 2015. Selama 2010-2015, luas hutan yang hilang sebesar 73,6 ribu hektare.

"Bayangkan kalau kita sebagai warga negara tidak bertindak apa pun dan begitu saja lepas tangan. Dalam beberapa tahun mendatang, tentu kawasan Leuser ini akan hilang dan terganti dengan perkebunan sawit," sambung wanita lulusan Universitas Sains Malaysia ini.

Setelah membentuk Haka akibat pembubaran Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL) yang merupakan tempat pertama Farwiza bekerja, Ia menjadikan yayasan itu sebagai salah satu wadah bagi masyarakat untuk melakukan advokasi terhadap kejahatan lingkungan yang terjadi di Aceh.

"Jadi Haka itu berdiri pada 2012 yang tujuan utamanya ialah melindungi Leuser dari segala tindak kejahatan lingkungan. Namun, kita juga menjadi wadah bagi masyarakat Aceh jika ingin melakukan advokasi regulasi terhadap segala kebijakan pemerintah," jelasnya.

Peran penting

Atas segala upaya dan dedikasi yang dilakukan Farwiza untuk Leuser, mata pecinta lingkungan dunia internasional pun mulai melihat dan memberikan berbagai apresiasi kepadanya dan juga Haka.

Setidaknya, ada dua momen besar dalam hidup Farwiza yang mungkin tak akan pernah terlupakan.

Pertama yang juga cukup mendapat sorotan dunia ialah kunjungan langsung aktor sekaligus pemenang Oscar 2016 Leonardo di Caprio ke Kawasan Ekosistem Leuser tempatnya bekerja.

Menurut Farwiza, ia tak pernah sedikit pun membayangkan pemeran film Titanic itu akan berkunjung ke tempatnya.

Bahkan tak kalah hebatnya, Di Caprio sendiri sampai menyebarkan foto-foto hasil kunjungannya ke beberapa media sosial dan laman lain untuk menyampaikan pesan kepada seluruh masyarakat dunia supaya mau menjaga kawasan ekosistem lain, khususnya di Leuser.

"Jadi ceritanya (Leonardo) sudah lama ingin terlibat upaya-upaya perlindungan hutan di Sumatra, dan beliau mencari partner lokal yang menurut beliau kerja-kerjanya layak untuk didukung. Melalui berbagai proses inilah Leonardo mengenal Rudi Putra (penerima Goldman Environmental Prize 2014) sehingga ingin mendukung Rudi dalam kerja-kerja penyelamatan Leuser," cerita Farwiza.

Selama mendatangi Leuser, Di Caprio sempat mengunjungi beberapa lokasi, seperti Conservation Response Unit (CRU) di Aceh Timur, Orang Utan Quarantine di Sibolangit, Sumatra Utara, dan juga mengunjungi Stasiun Riset Ketambe di Aceh Tenggara.

Di mata Farwiza, sosok Di Caprio merupakan pria luar biasa dan benar-benar peduli akan kelestarian lingkungan serta mempunyai pemahaman yang baik terhadap isu-isu lingkungan yang cukup kompleks serta mengangkat isu lingkungan ke ranah publik.

"Di Caprio justru memilih untuk mendalami masalah ini dengan turun ke lapangan, berpanas-panasan di bawah terik matahari, berjalan kaki berjam-jam di hutan tropis, kehujanan, demi bisa menceritakan kembali pengalaman tersebut ke publik yang lebih luas," kenangnya. (M-2)

BIODATA

Nama : Farwiza Farhan
Umur : 30 tahun
Tempat Tanggal Lahir : Banda Aceh, 1 Mei 1986
- Penggagas Berdirinya Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (Haka)
- Peraih Whitley Awards 2016 di London, Inggris



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya