Headline

Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.

Fokus

Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.

Momentum Revolusi Mental

Komaruddin Hidayat Guru Besar Fakultas Psikologi UIN Jakarta
06/6/2016 06:30
Momentum Revolusi Mental
(ANTARA/SAHRUL MANDA TIKUPANDANG)

BERAGAM cara pandang terhadap kehadiran bulan Ramadan.

Ada yang melihatnya sebagai bulan penebusan dan penyucian dosa-dosa dengan berpuasa dan ibadah lain selama bulan suci ini.

Ada yang menghayatinya sebagai bulan tarbiyah, upgrading, dan character building.

Meminjam bahasa Presiden Jokowi Widodo, mestinya Ramadan merupakan momentum yang didesain untuk revolusi mental.

Demikianlah, dalam ungkapan Marhaban ya Ramadan, terkandung makna dan sikap bahwa umat Islam sudah lama merindukan kehadirannya sehingga kita menyambutnya dengan lapang dan gembira.

Secara psikologis, ibadah Ramadan merupakan interupsi atas rutinitas hidup kita yang rutin, mekanistik, dan membuat akal serta hati tumpul.

Ramadan menjungkirbalikan agenda kehidupan, terutama yang berkenaan dengan pemenuhan nafsu jasmani.

Dengan datangnya Ramadan, rutinitas itu disetop untuk dievaluasi.

Ibarat komputer, dibersihkan virus-virusnya dan direinstal dengan program baru yang lebih berkualitas.

Kita diajak merenung, menggali makna dan arah hidup yang hakiki sehingga harkat dan eksistensi kita tidak terdegradasi (runtuh) yang sibuk mengejar jabatan, kekuasaan, materi, popularitas sehingga kehilangan getaran halus kemanusiaan yang bersifat ilahi.

Puasa melatih kita melakukan transendensi, mengapresiasi, dan menginternalisasi nilai-nilai moral ilahi yang lebih mulia, dalam rangka memelihara keluhuran martabat manusia, yang oleh Alquran diistilahkan takwa.

Karena perintah puasa tidak dimaksudkan penyiksaan, Islam melarang seseorang berpuasa dalam keadaan sakit atau dalam tugas melakukan kerja berat.

Kata shaum artinya kemampuan menahan diri dari godaan hedonistik.

Di sinilah salah satu sumber malapetaka bangsa dan negara ini ketika para pimpinan dan pejabat negara tidak mampu menahan diri dari rayuan korupsi dan anak-pinaknya.

Pribadi dan masyarakat, yang sanggup menahan diri dari godaan kenikmatan sesaat dan senantiasa melihat sukses yang lebih besar pada hari depan, merupakan kunci keberhasilan negara-negara maju. Ini kaidah universal.

Jadi, di samping sebagai melaksanakan ritual keagamaan, masyarakat Indonesia yang rajin dan heboh berpuasa Ramadan itu mestinya memperkukuh komitmen moral kita untuk membangun bangsa, mewariskan hari esok yang lebih baik untuk anak-cucu kita.

Jadi, sungguh ironis kalau setiap tahun kita ramai-ramai berpuasa, tetapi perilaku sosial kita hedonistik dan koruptif serta meninggalkan beban dan kerusakan bagi anak cucu.

Meskipun puasa itu ritual keagamaan terarah pada Tuhan, secara sosial mesti memberikan dampak positif-konstruktif.

Setidaknya terdapat empat dimensi untuk menimbang dampak positif puasa.

Yang paling mudah diamati dan diukur ialah efek puasa terhadap kesehatan fisik.

Berdasarkan pengamatan dan pengalaman medis, orang yang berpuasa bukannya menjadi sakit, justru bertambah sehat.

Kedua, dampak terhadap mental-emosional.

Selama berpuasa kondisi kejiwaan tenang, stabil, dan tidak mudah emosi.

Mungkin ini pengaruh dari perubahan ritme makan-minum sehingga secara signifikan kita menjadi lebih sabar.

Pikiran lebih jernih.

Ini membawa dimensi ketiga, yaitu hubungan sosial yang lebih damai dan sehat.

Perhatikan, selama Ramadan, hubungan sosial dalam masyarakat berubah menjadi damai, masing-masing berusaha menahan diri.

Tiga dimensi di atas kesemuanya mudah diamati dan tentunya setiap diri kita merasakan dan turut berpartisipasi, terutama dalam membangun relasi sosial yang lebih damai dan penuh toleransi serta saling menghargai.

Dimensi keempat yang sulit diukur ialah yang berkaitan dengan kualitas puasa di mata Allah.

Apakah ibadah puasa seseorang diterima Allah dengan nilai bagus, ini di luar kapasitas kita untuk menakar dan memberi penilaian.

Bisa saja orang miskin yang membanting tulang mencari nafkah untuk keluarganya sampai tidak sanggup berpuasa kedudukannya lebih mulia daripada mereka yang berpuasa, tetapi bergelimang harta haram.

Sejak masa Rasulullah sampai hari ini, ibadah puasa terjaga dan dijalankan para umatnya, tradisi keagamaan yang amat kukuh akar tradisi dan landasan doktrinalnya yang kemudian didukung oleh argumen medis, psikologis, dan dukungan budaya.

Yang selalu ditunggu dan dipertanyakan masyarakat ialah bagaimana agar puasa Ramadan berdampak nyata bagi pembentukan karakter individu dan sosial, bukan sekadar diyakini sebagai upaya pembersihan dosa-dosa individual-vertikal.

Ibadah puasa dan agenda pembangunan memiliki titik singgung.

Salah satu elemen pokok dalam modernisasi ialah berlangsungnya proses pembangunan yang direncanakan secara rasional untuk menyejahterakan rakyat dan mengajak mereka untuk melihat jauh ke depan, jangan terjebak pada godaan kenikmatan sesaat.

Logika modernisasi ini memiliki titik singgung dan garis impit dengan ajaran puasa.

Program pembangunan dan modernisasi akan mengalami kegagalan jika para pelakunya tidak mampu menahan diri ketika dihadapkan pada godaan yang menawarkan kenikmatan sesaat.

Institusi keluarga dan negara ikut jadi korban.

Tidak hanya revolusi, reformasi juga telah memakan anak-anaknya sendiri. Salah satu penyebabnya ialah terjadinya pembusukan moral dalam lingkaran elite politik dan birokrasi karena gagal melakukan puasa sosial, kemampuan menahan diri dari rayuan hedonisme yang koruptif.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik