Headline

Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.

Fokus

Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.

Merawat Rumah Bersama

Dzulfikri Putra Malawi
05/6/2016 07:47
Merawat Rumah Bersama
(Grafis/Duta)

AMBON, 17 tahun yang lalu memang menjadi kota yang mengerikan, saling serang dan terpecah. Kini, amarah itu telah padam, berganti dengan ikhtiar menyalakan lilin-lilin perdamaian walaupun ada proses dan tantangan yang harus dilalui agar cahaya tenteram itu tetap menyala.

Salah satunya untuk mengeringkan bekas luka yang masih tertinggal. Permukiman di Kota Ambon, Maluku, masih terkotak-kotak berdasarkan agama yang dianut warganya.

Hal itu berdampak pada generasi masa depan, termasuk mereka yang sedang tumbuh di tahun-tahun akhir kerusuhan. Mereka hanya bersahabat dengan orang yang seagama. Padahal, remaja yang tumbuh besar sebelum kerusuhan 1999 terbiasa berkawan dan hidup bertetangga dengan lain agama.

“Setelah 2004, interaksi Islam dan Kristen mulai kembali terjalin di ruang publik seperti di pasar dan sekolah, kampus, dan tempat kerja. Semakin ke sini, semakin natural hubungannya,” kata penggagas Paparisa Rumah Bersama, Pierre Adelaar Ajawaila, 34, kepada Media Indonesia, Rabu (1/6) malam.

Harmoni di akar rumput itu kemudian mempertemukan berbagai komunitas kreatif. Mereka yang bergerak di bidang musik, lukis, hiphop, lingkungan, dan pariwisata mulai bertukar ide di Paparisa.

“Kami mulai mengajak kawan-kawan mengerjakan aktivitas bersama. Dari situ akhirnya kami bisa berteman tanpa melihat agama,” kisah Pierre.

Paparisa yang berarti rumah bersama dalam bahasa Ambon menjadi wahana aktivitas bersama. Label yang diberikan memang tak mesti soal pluralisme, tetapi aktivitas kreatif ternyata mengikis semua sekat. Bergerak atas minat, hobi, dan semangat yang sama, mereka mengampanyekan Ambon Bergerak sejak 2010.

Memupuk dari bawah
Manfaat upaya merintis kebersamaan itu tervalidasi ketika gesekan kembali terjadi pada 11 September 2011 sehingga api perpecahan terbilang cepat padam. “Kami tidak bisa memaksakan perdamaian secara masal terlebih dahulu atau top down dari pimpinannya saja. Tapi yang paling penting membuat ruang perjumpaan untuk kawan-kawan yang berbeda agama untuk bisa bertemu, duduk, dan mengerjakan aktivitas bersama. Itu awal yang memicu mereka berteman dan kemudian melampaui batasan-batasan yang ada di kepala kita sendiri soal pemahaman agama yang salah,” jelas Pierre.

Kreativitas, hobi, dan kesukaan pun dipertemukan. Anak-anak muda Ambon pun saling bertemu dan menembus stigma terhadap agama tertentu.

Cara pandang dan aksi nyata yang dilakukan Paparisa ini divalidasi Direktur Ambon Reconciliation and Mediation Centre (AMRC) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon yang juga tokoh lintas agama di Ambon, Abidin Wakano. “Dengan menguatnya segregasi oleh media, khususnya dalam hubungan agama, maka sangat penting membangun dialog dan perjum­paan di level bawah, khususnya anak muda,” kata Abidin.
Salah satu akar intoleransi, lanjut Abidin, selain masalah ekonomi, sosial, dan politik, ialah dakwah atau misi yang bersifat ekslusif dan memuat nilai konflik. “Pemahaman agama yang kurang dicerna serta ada misi dan dakwah yang provokatif membuat hubungan agama sering berada pada ketegangan, saling curiga, dan saling mengancam. Sebelum konflik di Ambon, relasi budaya sangat baik seperti budaya pela, gandong, Kai wai, Kidabela, Aini ain, Larvul ngabal,” kata Abidin.

Kini, setelah melalui proses pendewasaan, relasi itu berwujud dukungan umat Kristen saat penyelenggaraan MTQ tingkat nasional pada 2012 lalu serta dukungan umat Islam untuk kegiatan Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi) tingkat nasional di Ambon pada 2015.

“Kedua umat beragama ini bahkan bertindak sebagai tuan rumah untuk para kafilah atau kontingen. Kini juga ada diskusi bersama, permintaan narasumber muslim untuk menkritisi rencana strategi Gereja Protestan Maluku serta dukungan umat kristiani untuk program beasiswa mahasiswa muslim,” kisah Abidin.

Tak selalu berlabel religi
Dalam menyambut bulan suci Ramadan, Paparisa akan kembali mengadakan program rutinnya bernama Ramadhan Berbagi yang sudah enam tahun dijalankan. Menuju tahun ketujuh, selain mengadakan buka puasa bersama dan santunan kepada anak yatim, pada Kamis (2/6) lalu mereka memulai kelas diskusi untuk mengisi kegiatan selama Ramadan.

“Bahasan kelasnya ialah tidak mesti bicara religi walaupun kontennya ada religi. Ada diskusi film serta menumbuhkan minat para penulis muda Ambon karena di Ambon masalah literasi masih rendah.
Masyarakat Ambon terbiasa dengan tradisi lisan. Dari dulu kami cerita lewat Kapata (cerita turun-temurun soal kisah legendaris). Kelasnya memungkinkan kawan-kawan untuk agama apa pun bisa mengikuti. Biasanya dalam program reguler selalu ada kelas kreatif dan penampilan di jalanan setahun terakhir,” sambung Pierre.

Kegiatan Ramadhan Berbagi yang rencananya diselenggarakan Sabtu (25/6) mendatang akan berisi penampilan musik serta pengumpulan donasi. “Saat pelaksanaannya nanti Paparisa mengajak adik-adik dari beberapa panti asuhan untuk dihibur, buka puasa dan salat bersama, berbagi alat tulis, santunan uang tunai untuk panti asuhan, hingga pemberian paket sembako. Kami memang sudah terbiasa bekerja sama-sama. Kalau bicara toleransi, itu sudah menjadi bagian kami. Tidak memandang batasan agama, suku, dan lain-lain. Kami memandangnya ini acara sosial dengan semangat Ramadan,” pungkas Pierre. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik