INDONESIA ternyata punya mesin cetak Alquran braille tertua dan satu-satunya di dunia yang masih berfungsi dengan baik sampai saat ini.
Mesin cetak tersebut dimiliki dan digunakan oleh Percetakan Alquran Braille, di Yayasan Penyantun Wyata Guna (YPWG), di Jalan Pajajaran, Kota Bandung, Jawa Barat.
Kepala Percetakan Braille YPWG, Ayi Ahmad Hidayat, mengisahkan mesin cetak yang berasal dari Amerika itu masuk ke Indonesia pada 1952.
Awalnya ditempatkan di Jakarta dan saat itu belum digunakan untuk keperluan mencetak Alquran. Baru pada 1960 mesin tersebut dikirim ke Bandung untuk mulai digunakan sebagai pencetak Alquran braille.
Mesin itu dibuat atas permintaan langsung Hellen Keller Internasional, untuk kepentingan sosial.
Dibuat cuma enam unit dan disebar ke beberapa negara, termasuk ke Indonesia.
Namun, lima mesin yang ada di negara lain sudah tak berfungsi.
"Alhamdulillah yang ini masih bertahan, mungkin karena digunakan untuk cetak Alquran," papar Ayi, di Bandung, Selasa (23/6).
Tidak ada nama pasti mesin tersebut.
Namun, sering disebut Braille Press.
Mesin itu beroperasi dengan tenaga listrik bertegangan 110 volt. Karena mesin terhitung sudah tua, untuk menjaga keawetannya, petugas percetakan selalu menyediakan pelumas.
"Pelumasnya ada tiga, stempet, oli, dan doa," ujarnya.
Meski sudah tua, mesin itu dapat menghasilkan 300 lembar mushaf Alquran braille dalam waktu 1 jam saja.
Dalam satu hari, pihak YPWG bisa mencetak sampai tiga set Alquran braille. Satu setnya berisi sekitar 2.000 halaman.
"Kalau sedang produktif dan mesinnya baik, kami bisa mencetak sampai 130 set sebulan," ujar Ayi.
Dengan hasil tersebut, mesin itu diklaim lebih produktif daripada mesin modern berteknologi print out yang kemampuannya hanya setengah dari mesin tersebut.
Dari sisi kualitas pun, hasil cetaknya lebih baik daripada hasil cetak modern.
"Setelah dicoba oleh kolektor yang juga tunanetra, hasilnya katanya lebih baik," ungkap Ayi.
Satu hal yang menjadi kelemahan Braille Press, mesin itu membutuhkan waktu lama dalam menyusun naskah.
Sementara itu, mesin print out yang menggunakan teknologi komputer mampu menyusun lebih cepat.
Ditambah dengan kondisi mesin yang sudah tua, Braille Press tidak bisa terus dipaksa untuk beroperasi setiap jam.
"Harus istirahat 1 jam dulu, kemudian bisa lanjut (mencetak) kembali," katanya. Peran pemerintah Saat ini, lanjut Ayi, pihaknya memasok hampir sebagian besar kebutuhan Alquran braille untuk skala nasional.
Meski ada juga percetakan lain yang juga memasok Alquran braille.
Satu hal yang dirasa mengganjal, menurutnya, ialah peran pemerintah masih minim dalam membantu pemenuhan kebutuhan kaum tunanetra akan Alquran braille.
Padahal, keberadaannya sangat diandalkan oleh para penyandang tunanetra.
"Pemerintah harus membantu memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas, dalam hal ini kebutuhan Alquran braille bagi kaum tunanetra."
Hal itu, lanjutnya, sesuai dengan UU No 19/2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities/Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang mencakup hak-hak para penyandang disabilitas.
Dengan bantuan pemerintah, lanjut Ayi, di masa depan, Alquran braille diharapkan dapat lebih banyak diproduksi dan dibaca.
Agar manfaatnya sebagai penuntun dan pedoman hidup masyarakat dapat dirasakan, khususnya bagi penyandang tunanetra.
"Harapannya, Alquran braille dapat dipakai, bukan hanya sebagai pajangan," pungkasnya. (H-3)