Headline
Presiden Prabowo resmikan 80.000 Koperasi Merah Putih di seluruh Indonesia.
Presiden Prabowo resmikan 80.000 Koperasi Merah Putih di seluruh Indonesia.
MAU anak seperti apa, berambut pirang, hitam, postur tinggi, atau biasa saja? Semuanya memungkinkan dilakukan di Australia. Tentunya, dengan adanya pendonor sperma dan dilakukan dengan transparansi identitas.
Demikianlah yang lancar dituturkan Mulyoto Pangestu kepada Media Indonesia, Rabu (13/4). Pria asal Pekalongan ini memang tidak hanya paham seluk-beluk proses donor sperma, tetapi juga salah satu sosok depan dalam penelitian soal teknik reproduksi di negara Kanguru.
Sejak pertengahan 1990-an, Mulyoto telah melakukan penelitian bidang itu di Monash University Australia. Ia kemudian menjadi pengajar dan bahkan kini menjabat kepala Laboratorium Obstetrik dan Ginekologi di universitas tersebut.
Karier cemerlangnya di negeri orang juga berkat temuannya yang cukup menggegerkan dunia pada 2000. Dengan dorongan supervisinya, Jillian Shaw, dan pembimbingnya, Alan Trounson, Mulyoto melahirkan teknik penyimpanan yang efisien untuk sperma, yakni dengan alat tabung plastik dan aluminium foil sebagai pembungkus.
Dengan material itu, biaya penyimpanan sperma tidak lebih dari US50 sen saja, atau sekitar Rp6.600 (nilai saat ini). Dari penelitian itu pula, Mulyoto meraih penghargaan tertinggi (gold winner) Young Inventors Awards tahun 2000 yang diselenggarakan majalah Far Eastern Economic Review (FEER) & Hewlett Packard Asia Pacific.
“Sebelum adanya penemuan ini, penyimpanan bahan organis salah satunya adalah sperma membutuhkan nitrogen cair sebagai bahan pendingin. Tentu membutuhkan biaya besar dan makan tempat. Nitrogen juga membutuhkan tempat yang aman karena bahan tersebut berbahaya dan harus disimpan pada suhu minus 196 derajat celsius.
Biayanya mahal,” tutur Mulyoto yang ditemui di kampus Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto.
Sebelum disimpan, sperma terlebih dulu dikeringkan dan dibekukan. Teknik pengeringan dan pembekuan sendiri telah dimulai peneliti lain, salah satu yang terkenal ialah penelitian dari ilmuan berdarah Jepang pada 1998. Namun teknik penyimpanannya belum efisien.
Mulyoto menjelaskan teknik penyimpanan miliknya sekarang sudah dikembangkan lebih jauh. Sperma beku tersebut disimpan dalam kondisi tidak bergerak (immotile). Untuk ‘menghidupkan’ itu lagi, sperma disuntikkan ke dalam sel telur. “Sperma yang dikeringkan tersebut mampu bertahan selama bertahun-tahun,” tambah pria berusia 52 tahun ini.
Meski cukup fenomenal, teknik temuan Mulyoto tidak digunakan untuk sperma manusia. “Tidak untuk manusia, teknis pengeringan sperma ini hanya untuk hewan, di antaranya adalah mencit. Sampai sekarang pun tidak mengarah ke sana (sperma manusia). Karena secara etik, hanya untuk hewan,” tegasnya.
Bersama Monash, ia hanya mematenkan penemuan itu selama satu tahun sebab paten membutuhkan biaya yang besar hingga ribuan dolar, sementara harga jual hasil inovasinya murah. “Saat sekarang sudah menjadi ‘public domain’. Tidak masalah, karena hal itu sudah diperhitungkan oleh pihak universitas,” tambah pria yang meraih gelar master dan doktor di Australia ini.
Menolak Harvard
Siapa yang tidak kenal Harvard University? Salah satu universitas terbaik di dunia itu menjadi mimpi bagi banyak peneliti. Namun, Mulyoto justru menolak pinangan universitas almamater Barack Obama itu.
Tawaran Harvard yang datang padanya di 2004 tetap tidak membuat Mulyoto berpaling dari Monash. Wujud kecintaan pada istri ialah salah satu yang mendorong suami dari Lies Pangestu ini memilih hidup di Melbourne.
“Istri saya menggunakan kursi roda. Kalau di Melbourne, fasilitas untuk penyandang disabilitas sangat memadai. Mulai dari memasak, naik kereta untuk belanja, atau aktivitas lainnya, seluruhnya dilakukan sendiri meski dia menggunakan kursi roda,” ujar Mulyoto tentang sang istri yang juga menimba ilmu di Unsoed dan kemudian di Australia itu.
Di sisi lain, pria yang juga sempat mengajar di Universitas Padjadjaran, Bandung, ini menilai bahwa sisi keilmuannya juga berkembang dengan baik di Monash.
Hampir seluruh referensi bisa ia dapatkan dengan mudah. Ditambah lagi, interaksi antarilmuwan yang menurutnya sangat mendukung penciptaan inovasi. Namun, di samping semua kemudahan itu, jiwa Mulyoto tetap untuk negeri kelahiran. (M-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved