Headline
Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.
Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.
SEBAGAI penyandang disabilitas fisik bukan hal yang mudah bagi Anggiasari Puji Aryatie untuk memiliki rasa percaya diri dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Anggi mengalami kondisi medis akondroplasia atau yang dikenal juga sebagai dwarfisme atau kerdil harus berjuang menghadapi celaan dan ledekan dari anak-anak lainnya karena kondisi fisiknya yang berbeda.
Anggi mengaku sudah merasa berbeda dengan anak-anak lainnya sejak kecil, bahkan sejak ia duduk di bangku taman kanak-kanak. Kesadaran akan perbedaan tersebut muncul setelah rangkaian perlakuan tidak menyenangkan seperti ejekan dan cemoohan yang diterimanya dari anak-anak lainnya.
Anggi yang masa kecilnya tinggal di Pondok Gede mulai memperluas area bermainnya, termasuk dalam rute perjalanannya ke TK. Ketika itu, anak-anak tetangga yang lebih jauh mulai menyadari ada anak yang berbeda di lingkungannya.
Anggi menjelaskan awalnya mereka mungkin hanya melihat, kemudian bertanya kepada orang dewasa dan kemudian muncul julukan-julukan. Padahal, itu murni kepolosan anak. Namun, orang dewasa sering kali memberikan konteks negatif atas kepolosan tersebut.
"Saat itu saya merasa aneh ketika mulai masuk TK karena setiap hari saat saya menuju TK saya selalu mendengar, eh ada orang cebol lewat. Saya tidak mengerti awalnya karena tidak ada yang namanya cebol. Saya tidak merasa nama saya cebol, tetapi anak-anak ini menunjuk-nunjuk ke saya sehingga saya sadar yang dimaksud itu saya. Jadi, kesadaran bahwa saya diberi predikat cebol oleh orang-orang lain muncul saat itu dan saya tidak terima," ujar Anggi.
"Pergolakan batin bahwa saya tidak terima dipanggil cebol itu sejak usia 5 tahun, ada perasaan marah, sedih, kecewa, dan lebih tepatnya marah. Saya merasa marah karena saya tidak merasa menerima ucapan orang bahwa saya cebol," imbuhnya.
Terlepas dari cemoohan tersebut, Anggi bersyukur kedua orangtuanya, khususnya ibunya menempanya dengan cukup keras untuk memiliki karakter dan kepercayaan diri. Meski begitu, layaknya remaja pada usia SMP, Anggi muda ingin diterima oleh teman dari kelompok gaul.
Ia pun sempat dikompas oleh temannya yang merupakan anak paling keren saat itu agar mau menerima eksistensi Anggi sebagai temannya. "Ketika itu saya dipalak sama dia secara berkala, jadi lebih ke manipulatif seperti saya harus jajanin mereka kalau mau temanan dan sebagainya. Karena ingin dapat diterima saya pun membayar kepada dia," ungkap Anggi.
Belakangan akhirnya Anggi menyadari kesalahannya dan mempertanyakan mengapa ia mau mengeluarkan uang hanya untuk berteman. Pada akhirnya anak itu pun dikeluarkan oleh sekolah karena perbuatannya tersebut.
Belajar dari kesalahannya saat di SMA Anggi pun mengubah pendekatannya dengan mengikuti OSIS dan memiliki prestasi akademik, khususnya bahasa Inggris yang ia pelajari secara autodidak. Dengan keikutsertaannya di OSIS teman-temannya tidak meledeknya dan mereka pun dekat dengannya karena Anggi mengajari teman-temannya belajar bahasa Inggris.
"Ibu saya selalu bilang ‘yang bisa dilihat dan diakui oleh orang itu kalau kamu pintar dalam satu hal. Orangtua hanya mampu memberikan pendidikan, harta seberapa banyaknya tidak akan cukup tetapi dengan pendidikan bila mampu mengelolanya itu akan menyelamatkan saya," kenang Anggi.
Situasi Anggi semakin membaik saat ia menapaki bangku kuliah di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Saat ini menurutnya merupakan saat terbaiknya dan ia memiliki banyak teman dekat yang menjadi sahabatnya hingga hari ini. Mereka pun dengan sukarela membantu Anggi saat menjadi caleg pada 2018 silam. (Dro/N-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved