PGRI Nilai Pemerintah Gagal Implementasikan UU Guru dan Dosen
MI/Bay
14/6/2015 00:00
(FOTO ANTARA/Widodo)
Pemerintah dan pemerintah daerah terindikasi gagal dalam melaksanakan amanah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD). Banyak pasal yang sangat penting tidak dapat dilaksanakan dengan baik, terutama dalam mewujudkan guru yang profesional, sejahtera, dan terlindungi. Hal tersebut dikemukakan Ketua Umum PB PGRI,Sulistiyo ,melalui rilisnya kepada pers,Minggu (14/6).
Ia berpendapat dalam rangka mewujudkan guru profesional, seharusnya paling lambat sepuluh tahun sejak UUGD tersebut disahkan pada 2005 hingga 2015 para guru sudah harus berkualifikasi pendidikan S1 atau D 4 dan telah bersertifikat pendidik. Ketentuan tersebut tercantum pada Pasal 82 ayat 2 dalam UUGD. "Tetapi sampai sekarang masih sekitar 40% guru kualifikasi pendidikannya belum mencapai taraf S1 atau D4 dan masih sekitar 45 % guru belum bersertifikat pendidik,"ungkap Sulistiyo.
Dengan begitu,peserta didik berpotensi mendapat layanan yang tidak adil dari kondisi guru yang sangat heterogen. Guru juga merasa diperlakukan diskriminatif. Karena kualifikasi pendidikan maupun sertifikasi -yang harus dibiayai pemerintah dan atau pemerintah daerah- berimplikasi juga pada diterimanya tunjangan profesi.
Hemat Sulistiyo, pendidikan dan pelatihan guru pun tidak jelas dan tidak merata. Tahun 2013 lalu ada pelatihan guru massal yang dilaksanakan dalam kaitan pelaksanaan kurikulum 2013, bukan didesain untuk peningkatan kompetensi guru. " Masih banyak guru yang belum pernah memperoleh pendidikan dan pelatihan.Sekarang malah kebijakan Kemendikbud semakin tidak jelas. Tidak ada tanda-tanda amanat itu diselesaikan, rencananya saja tidak jelas, apa lagi pelaksanaannya," cetusnya.
Kesejahteraan Dalam konteks kesejahteraannya,menurut Sulistiyo,PGRI melihat masih banyak hak-hak guru yang tidak dapat dipenuhi dimana hal ini tercantum pada ,Pasal 14 di UUGD. Misalnya, pada ayat (1) huruf a Guru seharusnya memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimal dan memperoleh jaminan kesejahteraan sosial, tetapi sampai saat ini jutaan guru yang bekerja penuh waktu, dengan prestasi dan dedikasi yang tinggi, sesuai peraturan perundang-undangan, memperoleh penghasilan yang belum manusiawi.
Misalnya, masih anyak guru berpenghasilan sekitar Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) per bulan. Dijelaskan para guru sejatinya berhak memperoleh penghasilan sesuai peraturan perundang-undangan seperti termaktum Pasal 15 UUGD tetapi nyatanya aturannya tidak dibuat. Padahal,buruh dan pekerja prabik malah sudah diatur penghasilan minimalnya.
" Bagimana mutu pendidikan bisa beranjak naik. Mendikbud pernah mengatakan guru atau guru honorer akan memperoleh penghasilan minimal. Tetapi itu juga baru omong doang,"cetusnya. Selanjutnya, ia menyoroti pembayaran tunjangan fungsional, terutama bagi guru non-PNS tidak jelas polanya. Bahkan banyak yang tidak menerima Pembayaran Tunjangan Profesi Guru (TPG).
Ia menilai tahun ini justru lebih jelek dari tahun-tahun sebelumnya. Sampai bulan Juni ini masih banyak guru yg telah bersertifkat pendidik belum menerima TPG. "Dalam hal ini, Kemendikbud sering saling lempar dan saling menyalahkan dengan pemerintah daerah,"ujarnya. Dikatakan,dalam pedoman pembayaran TPG Kemendikbud nampak semakin mempersulit guru memperoleh TPG.
PGRI mencontohkan guru yang idak masuk 1 hari saja, walau karena sakit sangat keras, guru tetap tidak memperoleh TPG. Ada guru di Bekasi, sudah meninggal saja masih diminta mengembalikan TPG yang telah diterimanya. Dengan kondisi itu,ia menyindir sepertinya ada pejabat di Kemendikbud ada yang sangat senang jika guru gagal memperoleh TPG.
Banyak usaha yang dilakukan oknum di Kemendikbud untuk menghambat guru memperoleh TPG. Pejabat itu bahkan dipuji berprestasi jika bisa "menghemat" uang TPG. Sekarang,lanjut Sulistiyo, guru disibukan mengurusi tugas-tugas administratif, sulitlah mereka mengembangkan kompetensi dirinya. Bahkan, guru terancam tidak bisa naik pangkat karena aturan yang dibuat kementerian sangat aneh dan jauh dari kepentingan terwujudnya tugas pokok guru.
Kaitannya dengan perlindungan hukum bagi guru yang diatur pada Pasal 39 dalam UUGD,juga belum dilaksanakan. Peraturannya pun belum ada. Akibatnya banyak guru yang teraniaya, dipindah sewenang-wenang, diturunkan jabatan dan pangkatnya, dan seterusnya. "PGRI berharap agar pemerintah, terlebih Kemendikbud, melakukan langkah-langkah yang jelas dan terukur agar UUGD tersebut bisa dilaksanakan dengan baik.Masih ada waktu sekitar 6 bulan sampai Desember 2015. Seyogyanya, program dan kegiatan untuk pencitraan dikurangi, kami sudah bosan,"pungkas Sulistiyo.