Headline
Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.
Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.
LANGKAHNYA mantap. Ia dikenal sebagai pejuang hak-hak penyandang disabilitas khususnya di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Antini, nama perempuan warga Karanglo 03, Kelurahan Sidomoyo, Kecamatan Godean, itu. Ia juga disapa dengan nama yang sama. Antini adalah pendiri Difa Satuhu, kelompok persaudaraan para penyandang disabilitas di lingkungan dusun tempat tinggalnya.
"Ada beberapa penyandang disabilitas di sekitar saya yang terabaikan dari kehidupan sosial," kata Antini, awal pekan ini.
Bahkan, menurut dia, masih banyak yang menganggap anggota keluarga yang difabel adalah aib sehingga keberadaan mereka harus disembunyikan.
Tentu saja, pandangan semacam itu salah dan harus diubah. Namun, dampaknya sudah dirasakan mereka. Pandangan itu telah menyulitkan pemenuhan hak-hak kaum disabilitas.
Perempuan kelahiran 13 Agustus 1964 itu mengaku, selama ini banyak memberi perhatian kepada para penyandang disabilitas untuk satu tujuan, yakni berupaya memenuhi hak-hak mereka. Tidak ada tujuan lain.
Ia mengakui kepekaannya terhadap situasi yang dialami para penyandang disabilitas itu merupakan pengejawantahan petuah dan ajaran dari orangtuanya. Mereka mengajari Antini untuk selalu banyak membantu warga yang mengalami kekurangan, termasuk para penyandang disabilitas.
Tanpa bantuan
Di Sleman, tak sedikit penyandang disabilitas yang hak-haknya belum terpenuhi. Salah satunya akses masuk ke tempat-tempat atau bangunan. Jarang di antaranya yang memberi kemudahan bagi penyandang disabilitas untuk memasukinya.
Untuk membantu para penyandang disabilitas yang ada di sekitarnya, Antini mengajak mereka bergabung dalam kelompok yang dinamakan Difa Satuhu. Di komunitas ini, mereka diajak untuk bersama-sama belajar dan berjuang. Termasuk di masa pandemi covid-19, mereka lebih tekun berupaya dalam banyak bidang.
Menurut Antini, selama masa pandemi banyak di antara penyandang disabilitas ini sama sekali tidak mendapatkan bantuan. Alasannya cukup banyak dan beragam, tapi berbau administratif. Di antaranya, mereka yang difabel ini tidak memiliki kartu keluarga sendiri.
Di tingkat kelurahan atau desa, ternyata juga tidak banyak yang memiliki data lengkap terkait penyandang disabilitas. "Tidak ada database yang terpisah tentang penyandang disabilitas di sebuah lingkungan," lanjut perempuan asli Sleman ini.
Masalah administrasi itu membuat para penyandang disabilitas terlambat mendapat vaksinasi. "Mereka yang tergabung dalam berbagai organisasi dapat dengan cepat memperoleh akses. Namun, banyak yang karena keterbatasannya, mereka tidak tergabung dalam organisasi," jelasnya.
Perda
Pada 2018 lalu, DPRD dan Pemerintah Kabupaten Sleman menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2018. Aturan itu menyoal Penyelenggaraan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas.
Tidak tanggung-tanggung, DPRD dan Pemkab Sleman mencantumkan 113 pasal, yang sebagian besar memberikan hak dan perlindungan bagi penyandang disabilitas. Mereka juga tidak melupakan soal bantuan sosial yang dibutuhkan kelompok ini.
Namun, tiga tahun berjalan, perda itu belum leluasa berjalan di lapangan. "Masih perlu banyak pembenahan di tingkat pemerintahan, termasuk pemerintah desa atau kelurahan. Pembenahan dibutuhkan agar mereka dengan cepat bisa mengalokasikan anggaran guna membantu para penyandang disabilitas," tandas sarjana lulusan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu.
Antini mengingatkan masyarakat untuk membuka akses bagi kalangan penyandang disabilitas. Di jajaran pemerintah, tingkat kelurahan atau desa, juga mengalokasikan dana di anggaran pendapatan dan belanja untuk pemberdayaan penyandang disabilitas.
"Banyak yang masih belum menganggarkan. Kalaupun sudah ada, pemanfaatannya belum transparan," tandasnya.
Pemahaman
Antini juga berharap penyandang disabilitas secara berkala bisa mendapatkan berbagai peluang untuk mengembangkan diri sehingga bisa mandiri. "Pemberdayaan jangan hanya diartikan sebagai pelatihan keterampilan, selesai. Setelah terampil, terus bagaimana kelanjutannya?"
Pemberdayaan, lanjutnya, tidak boleh hanya berhenti pada kegiatan pelatihan keterampilan. Namun, bagaimana keterampilan itu didapat, dimanfaatkan, dan bisa menjadi sandaran untuk berdaya.
Dengan cara itu, para orangtua yang anaknya mengalami disabilitas nantinya tidak harus khawatir dengan masa depan anak-anak mereka.
Antini juga mengingatkan, penyandang disabilitas ini sangat beragam. "Ada teman saya yang tidak memiliki jari. Oleh pejabat di salah satu jenjang pemerintahan dipertanyakan, kok dia tercatat sebagai penyandang disabilitas. Ini kan menunjukkan pemahaman yang masih belum benar," lanjut Antini.
Dengan beragamnya kondisi, dia mengatakan perjuangan masih belum usai. Tidak hanya pemberdayaan, tetapi juga pemahaman, penganggaran, perlindungan, pengakuan, dan administrasi kependudukan. Perjuangan untuk pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas ini masih panjang dan tetap harus diperjuangkan. (N-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved