Headline

Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.

Fokus

Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.

Penahan Tsunami Berwujud Benteng Pasir

16/4/2016 01:20
Penahan Tsunami Berwujud Benteng Pasir
(MI/ARDI)

GUMUK atau bukit pasir di tepi laut di Pantai Parangtritis, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, telah menjadi ikon wisata. Di berbagai tayangan televisi pun silih berganti hadir liputan mengenai wisawatan yang asyik berselancar di gumuk itu.

Sesungguhnya daya tarik gumuk tersebut bukan hanya medannya yang menantang ataupun pemandangannya yang indah, melainkan juga pada proses pembentukannya. Dwi Sri, staf di Parangtritis Geomaritime Science Park (PGSP), mengatakan lautan pasir tersebut berasal dari material Gunung Merapi.

Dari ketinggian, pasir mengalir ke laut melalui aliran Sungai Opak-Oyo yang berhulu di lereng Gunung Merapi. Di laut, material pasir mengalami pencucian lalu terbawa oleh gelombang laut menuju ke pantai. “Setelah di pantai, pasir yang sudah mengering tertiup oleh angin dan membentuk gundukan,” kata dia ketika ditemui di kantornya, Selasa (12/4) siang.

Tidak diketahui secara pasti gumuk mulai terbentuk. Namun, jika dilihat dari proses pembentukannya, proses pembentukan gumuk tidak dapat dilepaskan dari aktivitas erupsi Gunung Merapi.

Menurut catatan yang dihimpun PGSP dari masyarkat setempat, kawasan yang sekarang merupakan gumuk dulunya merupakan rawa berukuran besar yang ditumbuhi berbagai tanaman air. Masyarakat sekitar menamai rawa yang terbentuk dari genangan air hujan tersebut sebagai Rawa Aji.

Seiring dengan pembukaan lahan yang dilakukan masyarakat, banyak tanaman yang ada di rawa kemudian ditebang. Akibatnya, pasir yang sebelumnya berada di bibir pantai kemudian terbawa oleh angin dan menutupi area rawa.

Lambat laun area rawa pun tertutupi oleh pasir. Semakin lama semakin luas area yang tertutupi oleh pasir sehingga lambat laun masyarakat pun menamainya dengan sebutan gumuk pasir. Luasnya gumuk saat itu bahkan bisa membuat orang tersesat.

“Ada cerita dari warga, dulu hanya ada satu pohon siwalan yang tumbuh di tengah-tengah yang dijadikan penanda arah,” kata Dwi.
Namun, seiring dengan berubahnya Parangtritis sebagai kawasan wisata, warga mulai tergerak melakukan penghijauan. Kini, kawasan gumuk pasir pun telah semakin padat, tidak hanya oleh tanaman vegetasi, tetapi juga permukiman warga dan aktivitas ekonomi seperti pasar ikan dan tambak udang.

Akibatnya, hamparan luas gumuk semakin menyusut oleh tanaman, permukiman, dan aktivitas ekonomi yang lain serta ketinggiannya pun semakin menyusut. “Dulu gumuk pasir tingginya bisa lebih dari 10 meter, sedangkan sekarang lebih kurang hanya 7 meter,” terang Dwi.

Tidak hanya berpengaruh terhadap ketinggian, gumuk yang ada saat ini juga relatif lebih stabil dari sebelumnya. Dengan mengutip cerita warga sekitar, kata dia, dulu gumuk pasir sangat aktif. Artinya, gundukan pasir bisa berpindah tempat karena tertiup oleh angin.

Sifat gumuk yang bisa berpindah mengindikasikan pula dapat dilakukannya pengaturan ketinggian. Dwi mengatakan pengaturan itu dapat dilakukan dengan penanaman pohon sebagai pagar alami. Namun, penanaman harus dilakukan dengan tidak menghalangi angin dari Selatan ke utara. Dari situ diharapkan bisa terbentuk gundukan pasir yang tinggi seperti dulu.

Modifikasi gumuk itu, menurutnya, dapat dilakukan di bawah wewenang pemerintah daerah. Sementara itu, PGSP hanya berwenang menyusun peta kawasan.


Konservasi gumuk

Kelestarian gumuk sesungguhnya bukan hanya penting dari sisi wisata, melainkan juga kehidupan masyarakat seluruhnya. Dwi menjelaskan sifat pasir yang mudah menyerap air membuat air tanah di bawah gumuk pasir terasa tawar. Bahkan, menurut penuturan penduduk sekitar, sekitar 500 meter dari bibir pantai air tanahnya sudah terasa tawar. Sebab itu gumuk sangat penting untuk mencegah intrusi air laut.

Walau belum dibuktikan saat ada tsunami, lanjut dia, gumuk pasir diyakini juga bisa menjadi benteng penahan tsunami yang efektif. Paling tidak, kekuatan tsunami bisa berkurang setengahnya saat melewati gumuk pasir.

“Berbeda dengan tanaman yang hanya menahan kekuatan tsunami, gumuk pasir bisa menahan sekaligus menyerap tsunami (yang datang),” kata dia. Dengan demikian, saat kekuatan tsunami berkurang, warga punya waktu lebih banyak untuk menyelamatkan diri.

Sebelumnya, pada Jumat, 12 September 2015, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi M Nasir telah meresmikan Laboratorium Geospasial Pesisir Parangtritis, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagai PGSP. Dalam peresmian tersebut, dilakukan juga pemasangan prasasti tetenger (penanda) kawasan konservasi gumuk pasir Parangtritis seluas 141 hektare oleh Gubernur DIY Sri Sultan HB X.

Saat peresmian tersebut, Kepala Badan Informasi Geospasial Priyadi Kardono menyatakan pemberian patok yang jelas dimaksudkan agar bangunan dan penghijauan di kawasan tersebut tidak terus bertambah. Zonasi wilayah memang perlu dilakukan karena berbagai perluasan kegiatan usaha yang mengancam gumuk, termasuk tambak udang. Padahal, untuk mengamankan gumuk pasir tidak boleh ada pohon ataupun bangunan yang tidak tertata. (AT/M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya