Headline

Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.

Fokus

Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.

Pembelajaran dari Luka Srintil dan Karman

Liliek Darmawan
14/4/2016 00:05
Pembelajaran dari Luka Srintil dan Karman
(MI/LILIEK DHARMAWAN)

SESEORANG datang menemui Ahmad Tohari pada siang itu. Orang itu memberikan kabar kalau mendiang Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ingin bertemu.

Awalnya cukup terkejut juga, kenapa orang besar macam Gus Dur ingin bertemu dengan dirinya.

Namun, pertemuan dengan Gus Dur pada 1980 itulah yang membuat Tohari-panggilan akrab Ahmad Tohari- semakin memantapkan diri dalam dunia kepenulisan, khususnya novel.

Ia mengatakan dirinya diminta bertemu Gus Dur, setelah Presiden ke-4 RI membaca sebuah novel dengan judul Kubah.

Novel karya warga Desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng), itu mendapatkan penghargaan Yayasan Buku Utama dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang saat itu dipimpin Daoed Joesoef.

"Ini adalah pemikiran besar," kata Gus Dur pada saat bertemu dengan Tohari. Lalu, tokoh Nahdlatul Ulama (NU) itu melanjutkan,

"Sudahlah, semuanya harus dihentikan. Harus ada rekonsiliasi. Jika masih memendam rasa dendam, kapan selesainya. Harus saling memaafkan dan menghilangkan kebencian."

Kata demi kata dari Gus Dur itulah terngiang sampai sekarang di telinga Tohari.

"Waktu tahun 1980-an, Gus Dur telah bicara soal rekonsiliasi tragedi kemanusiaan tahun 1965," ungkap Tohari, 68, yang ditemui Media Indonesia pada Selasa (22/3), di rumahnya di Desa Tinggarjaya, Jatilawang, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

Meski berada di jalan utama jalur selatan, tetapi rumahnya tetap bisa adem karena rimbunnya pepohonan di sekeliling rumahnya.

Gus Dur mengatakan itu setelah dirinya membaca novel Kubah yang menceritakan bekas tahanan politik (tapol) PKI yang tidak diterima di desanya.

"Novel ini sesungguhnya kisah nyata tetangga saya di Jatilawang. Dari real story, saya menuliskan kisahnya dalam Kubah. Ada seorang tapol, Karman, yang pulang dari Pulau Buru. Namun, ia mendapat perlakuan berbeda, tidak pernah mendapat undangan kenduri dan tak bisa menyalurkan hak politiknya dalam pilkades," katanya.

Hingga pada suatu waktu, kata Tohari, datanglah seorang kiai atau guru ngaji ke desa setempat bernama Haji Bakir.

Singkat cerita, guru tersebut akhirnya dapat memberikan penyadaran kepada warga kalau tapol juga manusia yang harus mendapat perlakuan sama seperti lainnya, bahwa Tuhan adalah zat yang Mahappengampun dan penyayang.

"Hingga kemudian, dia dipercaya membuat sebuah kubah untuk masjid di desa setempat. Kisah ini, menurut Gus Dur, cukup berani karena tidak banyak orang berbicara soal tapol pada tahun itu. Makanya, kenapa Gus Dur mengundang saya, karena soal cerita dalam novel ini. Saya dikritik oleh Gus Dur, mengenai sistematika dan alur agar memengaruhi psikologi pembaca," ujar Tohari.

Novel itulah yang sesungguhnya mulai mendunia karena diterjemahkan dalam bahasa Spanyol.

Namun, sebetulnya sebelum Kubah, Tohari telah membuat nobel berjudul Di Kaki Bukit Cibalak pada 1977 yang merupakan karya novel perdana.

Selain itu, Tohari sempat menyelesaikan cerita pendek (cerpen) Jasa-Jasa buat Sanwirya pada 1975 yang menyabet penghargaan dari Radio Nederland Wereldomroep.

"Di balik kisah pembuatan novel dan cerpen itu, sesungguhnya ada kisah mengharukan karena waktu itu mesin ketik Brother masih meminjam. Sewaktu menulis pun masih dengan lampu petromaks," katanya seraya tersenyum mengenang masa lalu.

Diterjemahkan lima bahasa

Setelah mendapat kritik dan masukan dari Gus Dur, Tohari semakin mantap menggeluti karier sebagai novelis.

Pada waktu akan menggarap novel lainnya, yakni Ronggeng Dukuh Paruk, ia masih bekerja sebagai redaktur di Harian Merdeka, Jakarta.

"Ronggeng Dukuh Paruk itu lagi-lagi menceritakan soal ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat kecil. Sebagai seorang redaktur pada sebuah harian nasional, memang cukup sibuk. Di sela kesibukan itulah saya mulai menggarap Ronggeng Dukuh Paruk yang rampung pada 1981," kata Tohari.

Selanjutnya, Tohari melanjutkan kisahnya melalui dua judul novel berikutnya, yakni Lintang Kemukus Dini Hari pada 1984 dan Jantera Bianglala pada 1985.

Ketiga novel dalam bentuk trilogi itu telah diterjemahkan ke dalam lima bahasa asing, yakni Inggris, Jerman, Belanda, Jepang, dan Tiongkok.

Selain itu, juga diterjemahkan dalam bahasa lokal, bahasa Jawa Banyumasan.

Karena kisahnya yang mengangkat soal kehidupan Srintil dengan latar belakang peristiwa 1965 di Dukuh Paruk itulah, Tohari dianggap ke kiri-kirian oleh rezim Orde Baru waktu itu.

Berminggu-minggu, ia diinterogasi tentara.

Akhirnya, Tohari meminta pertolongan Gus Dur waktu itu untuk memberikan kesaksian kalau dirinya ialah warga Nahdliyin.

Akhirnya, ia dapat bebas dari segala intimidasi dan ancaman hukuman yang sempat membayangi kehidupannya.

"Saya memang tidak pernah bisa membuat novel dengan tema romansa percintaan. Hampir seluruh novel dan cerpen saya merupakan tulisan ketidakadilan yang terjadi di masyarakat. Bahkan, sejak awal saya menulis, temanya seperti itu," ujarnya.

Difilmkan

Kisah ronggeng tersebut sempat diangkat ke layar lebar dengan judul Sang Penari yang rilis pada 2011.

Sama dengan novelnya, film dengan pemain Prisia Nasution dan Oka Antara serta sutradara Ifa Ifansyah itu berkisah Rasus dari Dukuh Paruk dan penari ronggeng bernama Srinthil dengan latar belakang pergolakan Gerakan 30 September 1965.

Film itu mendapat apresiasi dengan meraih 10 nominasi Festival Film Indonesia (FFI) 2011 dan memenangi empat Piala Citra.

Satu penghargaan di antaranya ialah film terbaik.

"Di dalam film Sang Penari, ternyata lebih berani karena dalam film tersebut menggambarkan secara jelas penderitaan Dukuh Paruk. Dulu, pada awal kemunculan novel ini, sempat kena sensor. Namun, dalam film tersebut, gambaran penderitaan warga terlihat nyata," kata Tohari.

Selepas menelurkan trilogi novelnya itu, Tohari semakin memantapkan dirinya di bidang kesusastraan di Indonesia.

Bahkan, penghargaan internasional mulai berdatangan.

Misalnya, Tohari mengikuti International Writing Programme di Amerika Serikat pada 1990 dan kemudian menerima Fellow Writer of The University of Iowa pada 1991 dan The South East Asia Writers Award di Thailand pada 1995.

Setelah itu, ada sejumlah negara yang mengundangnya untuk berdiskusi sastra, di antaranya Belanda, Jerman, Malaysia, dan Singapura.

Tohari yang berkeliling bersama para penulis dunia itu semakin menambah pengalaman dalam bidang kepenulisan, khususnya fiksi.

Salah satu yang tidak terlupakan ialah mengunjungi rumah John Steinbeck, salah satu novelis kesukaannya, penulis Tortilla Flat, Of Mice and Men dan lainnya.

Meski kini telah memasuki usia senja, Tohari tetap ingin menulis.

Bahkan, selain tetap menulis, ia masih menyempatkan diri mengelola majalah Ancas, sebuah majalah lokal berbahasa Jawa Banyumasan sebagai pemimpin redaksi.

Ayah lima anak tersebut kini tengah menyelesaikan sebuah novel lagi, kelanjutan dari trilogi Ronggeng Dukuh Paruk agar menjadi tetralogi.

Hanya, Tohari masih merahasiakan apa judul novelnya.

Namun demikian, isinya tetap mengedepankan kisah humanisme.

Kisah-kisah yang humanis, mendobrak ketidakadilan dan kesederhanaan, tidak hanya tersirat pada goresan cerita dalam novel, cerpen, atau esai karya Tohari.

Dalam kesehariannya, pria berperawakan kecil itu tetap terlihat rendah hati.

Gayanya tetap sama saja dari dulu sampai sekarang, berpakaian sederhana dengan topi khasnya.

Kesederhanaan memang menjadi falsafah hidupnya, meski namanya telah dicatat sebagai sastrawan Indonesia yang dihormati di mancanegara. (M-1)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Ahmad Tohari
Tempat, tanggal lahir : Banyumas, 13 Juni 1948
Pendidikan : Fakultas Kedokteran Universitas Ibnu Khaldun Jakarta, 1967-1969 (tidak selesai), Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Sudirman (tidak selesai)
Pekerjaan :
- Wartawan 1970-1979
- Redaktur Harian Merdeka, Majalah Keluarga, Majalah Amanah (1979-1993)
- Pemimpin Redaksi Majalah Banyumasan Ancas, Purwokerto, 2010-sekarang.
- Penyunting Utama teks terjemah Alquran bahasa Banyumasan
- Penyunting Kamus Bahasa Banyumasan-Bahasa Indonesia

Karya

Novel
1. Di Kaki Bukit Cibalak, 1979
2. Kubah, 1980 (juga diterjemahkan ke bahasa Spanyol)
3. Ronggeng Dukuh Paruk, 1981 (telah diterjemahkan ke bahasa Jepang, Tiongkok, Jerman, Inggris, Belanda, dan Banyumas)
4. Lintang Kemukus Dini Hari, 1984 (telah diterjemahkan ke bahasa Jepang, Tiongkok, Jerman, Inggris, Belanda, dan Banyumas)
5. Jantera Bianglala, 1985 (telah diterjemahkan ke bahasa Jepang, Tiongkok, Jerman, Inggris, Belanda, dan Banyumas)
6. Bekisar Merah, 1990 (juga terbit dalam bahasa Inggris)
7. Belantik, 1993 (diterjemahkan ke bahasa Inggris)
8. Lingkar Tanah Lingkar Air, 1991
9. Orang-Orang Proyek, 2002

Penghargaan:
- Penghargaan Yayasan Buku Utama Dep. P&K, 1981 dan 1987
- Fellow Writer of The University of Iowa, 1991
- The South East Asia Writes Award, Bangkok, Thailand, 1995
- Penghargaan Achmad Bakrie Award Kategori Bidang Kesusastraan, 2015

Pengalaman Internasional:
- International Writing Programe, USA, 1990
- Pembicara sastra di Universitas Iowa, USA, 1991
- Diskusi novel Ronggeng Dukuh Paruk edisi bahasa Belanda di Universitas Leiden, Belanda, 1996
- Diskusi novel Ronggeng Dukuh Paruk edisi bahasa Jerman di Universitas Bonn, Jerman, 1997
- Menghadiri Majelis Sastera Asia Tenggara, Kuala Lumpur, 1999
- Bedah Novel The Dancer (Ronggeng Dukuh Paruk) di University of California Los Angeles dan University of California Riverside, 2000
- Menghadiri peluncuran The Dancer (Ronggeng Dukuh Paruk) cetakan kedua di Singapura, 2009
- Menghadiri pertemuan Writers Unlimited, Den Haag Belanda, 2013
- Peserta dan pembicara pada Leipzig dan Frankfurt International Book Fair, 2015



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya