Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
HASIL penelitian harus dapat menjadi bahan masukan kebijakan pemerintah agar berdampak dan memberi manfaat seluas-luasnya untuk kepentingan masyarakat. Hal itu menjadi tantangan yang dihadapi dunia penelitian di Indonesia saat ini.
“Kita mendorong mereka untuk bisa menjadi profesor riset. Bisa membuat narasi yang dapat diimplementasikan bukan hanya untuk kepentingan ilmiah, tetapi juga kebijakan karena kita ingin kebijakan pemerintah berbasis sains dan evidence,” ucap Kepala Bidang Penelitian, Pengembangan dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Agus Justianto dalam acara pengukuhan lima penelitinya sebagai profesor riset di Auditorium Dr Soedjarwo Gedung Manggala Wanabakti Jakarta, kemarin.
Kelima profesor riset yang baru dikukuhkan KLHK adalah Mudji Susanto, Tyas Mutiara Basuki, Anthonius Yan Pancratius Bambang Catur Widyatmoko, Haruni Krisnawati, dan Rina Laksmi Hendrati. Wakil Menteri LHK Alue Dohong mengatakan sepanjang tahun ini KLHK sudah mengukuhkan 13 profesor riset dari total sebanyak 39 profesor riset yang ada.
Senada dengan Agus Justianto, Sekretaris Jenderal Kemenkes, drg Oscar Primadi mewakili Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto juga meminta agar riset-riset Badan Litbangkes dapat lebih berkontribusi dalam memberi rekomendasi inovasi intervensi kesehatan.
“Untuk menjawab berbagai tantangan dan permasalahan kesehatan. Saya menantikan hasil penelitian yang cepat, terkini, tajam, dan tepat sasaran dari Badan Litbangkes,” kata Oscar saat pengukuhan profesor riset dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes di Aula Siwabessy, Jakarta.
Kelima profesor riset baru Kemenkes itu terdiri atas Sri Irianti di bidang kesehatan lingkungan, Ekowati Rahajeng, Rustika, Yuli Widiyastuti, serta Indirawati Tjahja Notohartojo.
Refocusing
Ketika dihubungi terpisah, ilmuwan spesialis forensik kebakaran hutan Indonesia Bambang Hero Saharjo tak menampik masih minimnya dampak riset terhadap kebijakan pemerintah. Menurutnya, hasil riset yang terpakai dan tepat guna di Indonesia jumlahnya tidak mencapai 20%. Salah satu kendalanya, ungkap Bambang, karena masalah waktu dan dana.
“Dalam 1 tahun untuk penelitian saja perlu waktu 10 sampai 11 bulan misalnya, sementara bujet penelitian itu baru diterima pada bulan ke-4 atau ke-5,” ungkapnya kepada Media Indonesia.
Soal administrasi keuangan juga menjadi kendala. Bambang mengatakan peneliti harus menyiapkan bukti pengeluaran dengan sekian rangkap dan tidak boleh salah. Administrasi keuangan tersebut yang juga harus berpacu dengan selesainya penelitian yang akan dilakukan.
Karena itu, ia menyarankan agar dilakukan re-focusing penelitian untuk menjawab persoalan-persoalan yang timbul agar berdampak pada kebijakan pemerintah.
Satu hal penting, sahut Bambang, dana penelitian harusnya mengikuti tata waktu penelitian agar sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. “Bukan hanya sekedar bagaimana caranya menghabisakan dana dengan benar dan tepat waktu,” tandasnya. (Fer/Van/H-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved