Headline

Presiden Prabowo resmikan 80.000 Koperasi Merah Putih di seluruh Indonesia.

Fokus

Terdapat sejumlah faktor sosiologis yang mendasari aksi tawur.  

Banyak Perokok Usia Dini Disebabkan Lingkungan

Mediaindonesia.com
22/10/2020 13:30
Banyak Perokok Usia Dini Disebabkan Lingkungan
.(DOK FEB Unibraw)

KEBIJAKAN penaikan harga rokok, baik melalui kenaikan harga jual eceran  (HJE) maupun pengenaan atau kenaikan cukai rokok yang ditetapkan pemerintah, tidak efektif menurunkan jumlah perokok usia dini dan prevalensi stunting. Faktor utama penyebab perokok usia dini yaitu lingkungan di dalam dan luar rumah, keingintahuan anak,  pengendali stres, dikuti dengan tingkat pendidikan ayah atau orangtua yang rendah.

Demikian, kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan tim peneliti Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Brawijaya, Jawa Timur. Hasil penelitian, metode penelitian, beserta waktu penelitian, dan narasumber atau responden penelitian disampaikan anggota tim peneliti antara lain Imanina Eka Dalilah SE ME dan Joko Budi Santoso SE ME dalam siaran pers, Kamis (22/10).

“Faktor yang menyebabkan banyaknya jumlah perokok usia dini antara lain tingkat pendidikan orangtua, khususnya ayah, yang rendah serta ada anggota keluarga yang merokok,” papar Imanina.

Joko mengimbuhkan industri hasil tembakau (IHT) memiliki peran penting dalam menyumbang penerimaan negara melalui cukai hasil tembakau yang mencapai lebih dari Rp150 triliun per tahun  selama 5 tahun terkahir. Selain itu, IHT yang bersifat padat karya mampu menyerap jutaan tenaga kerja dalam rantai produksi maupun distribusi.

Fakta itu juga didukung dengan resiliensi IHT dalam menghadapi berbagai krisis ekonomi, termasuk pandemi covid-19. Meski demikian, keberlangsungan IHT terus mendapat tekanan yang luar biasa melalui berbagai aturan untuk pengendalian konsumsi maupun untuk kepentingan penerimaan negara.

Ketatnya regulasi dan kebijakan kenaikan tarif cukai berdampak pada penurunan volume produksi dan penurunan pabrikan rokok. Data menunjukkan volume produksi selama periode 2016-2018 menurun sebesar 4,59% dan jumlah pabrik rokok dari 4.793 perusahaan pada 2007 hanya tinggal sekitar 10% (487 perusahaan) di 2017.

Di samping itu, lanjut Joko, IHT menghadapi tekanan yang terus menggerus, salah satunya isu harga rokok terlalu murah mendorong peningkatan prevalensi merokok pada anak usia dini. Tidak hanya itu, isu stunting dan dampaknya bagi kesehatan terus di digaungkan.

Hal itu memberikan tekanan bagi pemerintah untuk mengendalikan konsumsi produk IHT melalui kenaikan harga dengan simplikasi tarif dan kenaikan cukai rokok. Harapannya dengan kebijakan harga akan mengubah perilaku masyarakat dalam mengonsumsi produk IHT.

Di tengah terjadi penurunan volume produksi dan jumlah pabrikan rokok yang signifikan,  data Riskesdas menunjukkan angka prevalensi merokok usia di atas 10 tahun di Indonesia mengalami penurunan dari 29,3% pada 2013 menjadi 28,8% pada 2018. Akan tetapi, penurunan volume produksi rokok dan penurunan jumlah pabrikan rokok yang besar ternyata berbanding terbalik dengan jumlah perokok usia dini.

Joko menegaskan fakta itu menjadi indikasi awal bahwa kebijakan kenaikan tarif tidak selalu linier dengan perspektif teori yang digunakan. "Fenomena ini menjadi salah satu alasan perlu kajian yang lebih mendalam terkait penyebab meningkatnya perokok usia dini di Indonesia,“ papar Joko.

Lebih lanjut Tim Peneliti dari PPKE Universitas Brawijaya memaparkan, kebijakan kenaikan tarif cukai dan kenaikan harga rokok yang beberapa kali dilakukan pemerintah nyatanya tidak searah dengan tren jumlah perokok usia dini dalam beberapa tahun terakhir. Di tengah penurunan volume produksi rokok dan penurunan jumlah pabrikan rokok yang signifikan,  jumlah perokok usia dini meningkat dari 7,2% pada 2013 menjadi 9,1% di 2018.

“Hal ini mengindikasikan kebijakan pemerintah melalui kenaikan harga rokok berpotensi tidak efektif menurunkan jumlah konsumsi rokok. Kebijakan tersebut justru dapat mengancam keberlangsungan IHT yang memiliki peran strategis bagi perekonomian nasional,” jelas Joko.

Padahal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), pemerintah mulai 2021 menargetkan penurunan prevalensi perokok anak usia sekolah. Jika 2021 terdapat 9,1 persen perokok anak usia sekolah, pada 2022 akan menjadi 9,1 persen. Dengan demikian pada 2024  tinggal 8,8 persen anak usia sekolah yang masih merokok. (RO/OL-14)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya