SEMULA saya beranggapan Dream School ialah nama sebuah sekolah yang akan kami kunjungi ketika melawat ke Finlandia. Namun, ternyata dream school
merupakan sebuah gerakan yang diinisiasi Allan Schneitz dari Elisa
Value, yang menginginkan perubahan secara gradual berbasis kesepakatan
dari para pemangku kepentingan (stakeholder) pendidikan di
setiap sekolah. Ketika berkunjung ke Kasavuori School, Kauniainen,
sedikit di luar Kota Helsinki, barulah saya memahami ternyata dream school merupakan jargon terhadap sebuah gerakan yang menginginkan perubahan.
Dengan
tetap berpegang kepada visi pendidikan yang digariskan pemerintah,
semua sekolah di Finlandia sangat menjunjung tinggi nilai dan harkat
kemanusiaan. “School aim is to raise human beings to find strengths
in their own personality, to be responsible and to respect each other’s
fundamental rights. Human being with good self esteem are eager to learn
the necessary knowledge and skills.†(Finnish Vision of School, 1970).
Dalam bahasa sederhana Allan, fungsi sekolah sebenarnya bagaimana
membelajarkan anak agar menjadi diri mereka sendiri berdasarkan tuntutan
yang berkembang di sekitar mereka.
Temuan riset Allan Schneitz
agar sekolah memiliki kekuatan untuk terus belajar ialah kepedulian yang
tinggi terhadap kemanusiaan. Bagi komunitas dream school, wellbeing lebih penting daripada knowledge, nilai-nilai kemanusiaan lebih berharga dari pengetahuan.
Karena
itu, setiap sekolah harus memiliki keberanian untuk saling percaya dan
menghargai satu sama lain, terutama guru, siswa, dan orangtua. Sekolah
harus terbiasa mau mengeksplorasi kekuatan mereka berdasarkan kearifan
lokal yang disepakati antara guru, siswa, dan orangtua. Karena itu,
membangun kepercayaan bagi setiap sekolah merupakan sebuah keniscayaan
karena butuh waktu tahunan untuk membangunnya, tetapi sangat mudah
menghancurkannya, dan setelah itu harus ada kemauan untuk terus
memperbaikinya.
Komunitas dream school, sebagaimana
sekolah di Finlandia kebanyakan, tak satu pun menyelenggarakan evaluasi
sejenis ujian nasional. Itu pun karena adanya rasa saling percaya antara
guru, pemerintah, dan masyarakat. Menurut Pasi Sahlberg, para guru di
Finlandia tak menyukai jenis tes seperti UN karena musuh utama dari
keingintahuan ialah tes atau ujian (the worst enemy of curiosity is standardization).
Padahal, tulang punggung dan jantung proses pendidikan di sekolah ialah
keingintahuan dan kreativitas. Dalam banyak kasus, ujian nasional
memang mematikan curiosity dan creativity dalam waktu yang bersamaan.
Dalam komunitas dream school, fenomena teaching
sudah berlalu dalam 20 tahuan terakhir. Baik guru, siswa, maupun
orangtua saat ini memiliki kesadaran yang sama tentang pentingnya
belajar. Jika basis proses pengajaran (teaching process) adalah guru, proses belajar (to learn)
ialah kehendak semua orang, terutama guru, siswa, dan orangtua.
Teaching process terlalu berorientasi pada tes dan ujian sejenisnya, dan
arena itu memerlukan banyak sekali dukungan dana. Mulai text-book, sarana-prasarana sekolah, hingga kebutuhan seragam sekolah merupakan orientasi yang sejalan dengan pengajaran. Teaching center juga terlalu mengagungkan pengetahuan (knowledge)
sebagai satu-satunya target pembelajaran tanpa menghiraukan nilai-nilai
yang semestinya bisa diperoleh secara bersama antara guru, siswa, dan
orangtua.
Menurut Allan Schneitz, menjadi sekolah yang baik bisa
dilakukan sekolah di mana pun sejauh mereka bisa memenuhi tuntutan semua
kebututan anak untuk belajar sesuai dengan selera gurunya (teacher center).
Akan tetapi, menjadikan sekolah sebagai tempat tumbuhnya rasa
kepedulian, saling percaya, dan menghargai kemanusiaan biasanya sangat
sulit dilakukan, padahal sekolah jenis ini tak memerlukan banyak
kebutuhan sarana dan prasarana. Bayangkan jika guru, siswa, dan orangtua
secara intens bekerja sama membangun dan mengembangkan bahan ajar yang
sesuai dengan kondisi lingkungan anak-anak mereka, proses belajar pasti
akan lebih bernilai dan berhasil guna.
Secara menarik, Allan Schneitz membuat hipotesis sederhana tentang apa yang membedakan sekolah yang baik (good school) dan sekolah yang hebat (great school), terutama dari cara pandang para guru dan kepala sekolah mereka terhadap proses belajar mengajar.
Salah
satu aspek penting dari proses belajar berbasis kesepakatan dan
kepercayaan antara guru, siswa, dan orangtua ialah kebebasan guru dalam
merancang skema belajar yang diinginkan setiap anak. Kurikulum, dengan
demikian, hanyalah framework yang menjadikan setiap guru untuk
terus berpikir dan berinovasi dalam merancang dan menjalankan skema
pembelajaran yang mereka sukai.
Di atas semua itu, komunitas
dream school juga meyakini arti penting kata redesign atau merancang
ulang setiap sesuatu yang berkaitan dengan proses belajar-mengajar,
tanpa perlu diberi komando. Jika seorang guru merasa proses
belajar-mengajar mereka kurang bermakna, mereka tak sungkan untuk
merancang ulang setelah memperoleh masukan yang cukup, baik dari siswa
maupun rekan sesama guru.
Begitu juga dengan kepala sekolah dan
orangtua. Jika ada sistem atau aturan yang menurut mereka akan
menghambat proses belajar-mengajar yang bermakna, tak segan mereka
sesegera mungkin merancang ulang sistem pengelolaan kelas, bahan ajar,
atau apa pun yang berkaitan dengan proses belajar-mengajar di sekolah.
Kata redesign menjadi semacam acuan bersama guru, kepala sekolah, siswa,
dan orangtua agar mereka tetap kreatif dan menjaga rasa ingin tahu (curiosity) mereka tetap hidup. Begitulah dream school.