Headline
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan
BEBERAPA waktu lalu, dunia maya digemparkan oleh foto tidak senonoh dari sepasang anak di bawah umur di sebuah akun media sosial. Netizen atau pengguna media sosial yang geram dengan perilaku anak di bawah umur itu mengemukakan pendapat mereka pada kolom komentar foto tersebut. Namun, beberapa dari komentar yang dikemukan itu mengarah pada cyberbullying.
Cyberbullying merupakan bullying (perundungan) yang terjadi di dunia maya. Meski hanya dilakukan melalui komputer yang tersambung dengan internet maupun telepon genggam, dampak dan kekejian cyberbullying tidak kalah mengerikan dibandingkan perundungan di dunia nyata.
Pasalnya, kejadian cyberbullying akan berdampak serius, merusak mental dan emosi remaja dalam jangka panjang bahkan hingga memicu bunuh diri.
Kasus bunuh diri pada remaja di luar negeri terkait dengan cyberbullying menurut Central Disease Control (CDC), Amerika Serikat, merupakan penyebab nomor tiga kematian pada usia 15-24 tahun, dengan jumlah kasus mencapai hingga 4.400 kematian per tahun.
Untuk setiap satu kasus bunuh diri pada remaja, setidaknya terdapat 100 kali percobaan bunuh diri. Lebih dari 14% diyakini pernah mempertimbangkan keinginan untuk bunuh diri dan separuh dari itu benar-benar melakukan percobaan bunuh diri.
Karena itu, Psikolog Anak dan Remaja dari Yayasan Pulih Ika Putri Dewi menegaskan bahwa media sosial tidak tepat digunakan oleh anak di bawah usia 17 tahun. Sebab, usia anak belum memiliki kematangan yang sempurna.
“Kalau diperhatikan rata-rata pembatasan media sosial kan untuk usia minimal 18 tahun, karena usia di bawah itu kematangan dirinya belum sempurna,” ujar Ika saat ditemui dalam Forum Ngobras di wilayah Jakarta Timur, akhir pekan lalu.
Terlepas dari anak-anak yang harus kekinian, media sosial harus bermanfaat bagi anak dan remaja. Tidak diungkiri, internet dan media sosial memiliki peran dalam kehidupan sehari-hari di masa sekarang. Anak-anak bisa berkomunikasi dengan cepat, menambah wawasan, dan mempelajari hal-hal baru.
Menurut Ika, anak-anak usia sekolah dasar, 7-12 tahun atau yang disebut dengan middle childhood tidak begitu membutuhkan media sosial. Sebab, saat middle childhood, anak masih dalam tahap perkembangan konsep diri (self concept) sehingga mereka belum terlalu membutuhkan pertemanan (peer group).
“Peer group pada usia sekolah dasar belum tepat atau belum terlalu dibutuhkan karena mereka masih dalam perkembangan konsep diri. Pembetukan konsep diri bisa dilakukan dengan mengenalkan anak pada kegiatan ekstrakurikuler, kursus sesuai minat atau mengikuti ajang lomba. Jadi anak di bawah 12 tahun belum membutuhkan media sosial, lebih baik kenalkan internet sebagai sarana belajar,” lanjutnya.
Namun, ketika memasuki usia di atas 12 tahun, media sosial sudah menjadi kebutuhan guna mencari pertemanan yang lebih luas. Hanya saja orangtua tetap harus berperan. Pasalnya, kematangan anak masih belum sempurna. Jika anak diberikan kebebasan seluas-luasnya, efek adiksi terhadap internet akan muncul. Adiksi dapat mengarah pada hal-hal buruk.
“Harus diingat bahwa mereka tetap anak-anak, kematangan mereka belum sempurna jadi ya orangtua harus mendampingi. Sebab mereka masih mencari jati diri. Berekspresi tanpa kematangan akhirnya mengekspresikan dirinya tidak bijaksana. Seperti mengunggah foto yang tidak seharunya ke media sosial atau pun cara berkomunikasi yang mengarah ke bullying.” (OL-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved