Headline

Banyak pihak menyoroti dana program MBG yang masuk alokasi anggaran pendidikan 2026.

Ritual Labuhan Merapi

Abdillah M Marzuqi
21/2/2016 00:55
Ritual Labuhan Merapi
(ANTARA/Andreas Fitri Atmoko)

RATUSAN orang berjalan bersama. Mereka bersepakat tentang satu arah, yakni puncak Merapi. Bersama, mereka berbagi jalan dengan para sesama. Jalan kecil menuju puncak Gunung Merapi penuh dengan pengunjung.

Mereka antusias mengikuti iringiringan meski jalur yang ditempuh tidak mudah. Trek berpasir, berbatu, dan terjal harus dilalui untuk bisa menyaksikan puncak ritual Labuhan Merapi. Tak jarang beberapa pengunjung yang tidak biasa mendaki harus berhenti beberapa kali untuk memulihkan tenaga.

Hari itu masyarakat Yogyakarta tengah mengikuti ritual Labuhan Merapi. Mereka beramai-ramai mendatangi puncak gunung api yang masih aktif itu. Tak hanya masyarakat Yogyakarta yang berminat datang. Banyak pula wisatawan lokal yang datang dari daerah sekitar ataupun dari luar kota. Tampak pula beberapa wisatawan asing yang turut dalam rombongan itu.

Yang berjalan di depan ialah para abdi dalem Keraton Yogyakarta. Mereka berpakaian adat Jawa. Tubuh mereka dibalut surjan berwarna biru tua. Mereka mengenakan kain jarik bermotif batik yang dipakai untuk menutup tubuh bagian bawah, dari pinggang sampai bawah lutut.

Blangkon mereka kenakan di atas kepala. Tutup kepala dari kain menutup sebagian besar rambut, hanya sedikit rambut yang kelihatan. Itu pun muncul dari tepi blangkon. Salah satu dari mereka memondong ubo rampe labuhan yang diletakkan di wadah berbentuk kotak persegi. Wadah itu ditutup dengan kain berwarna hijau.

Ubo rampe itu berasal dari Keraton Yogyakarta yang dibawa abdi dalem keraton. Sebelumnya, seremonial diadakan di Pendapa Kecamatan Cangkringan.

Seromoni itu biasanya dilakukan pagi hari. Segera setelah acara seremonial selesai, ubo rampe labuhan lalu diarak ke Petilasan Rumah Mbah Maridjan di Kinahrejo. Mas Ngabehi Suraksohargo atau Mbah Marijan adalah juru kunci Gunung Merapi yang meninggal saat letusan Gunung Merapi pada 2010 lalu.

Ubo rampe labuhan kemudian diserahkan kepada Kliwon Suraksohargo. Ia putra Mbah Marijan. Saat ini ia menjadi juru kunci Gunung Merapi menggantikan sang ayah.


Berkah dan keselamatan

Ubo rampe labuhan tidak langsung dibawa ke puncak Gunung Merapi, tapi terlebih dahulu disemayamkan selama semalam di pendapa Petilasan Rumah Mbah Marijan. Persemayaman ube rampe labuhan juga disertai dengan gelaran wayang kulit pada malam yang sama. Selain itu, diadakan malam renungan dan doa. Malam tirakatan diikuti bersama oleh juru kunci Gunung Merapi, para abdi dalem keraton, dan warga.

Hari masih pagi saat ube rampe labuhan dibawa ke Bangsal Sri Manganti. Perjalanan dari petilasan sampai ke Bangsal Sri Manganti memakan waktu sekitar 1-2 jam. Ubo rampe yang dilabuh terdiri atas sembilan macam, yaitu sinjang kawung, sinjang kawung kemplang, desthar daramuluk, desthar udaraga, semekan gadung mlati, semekan gadung, seswangen, arta tindih, dan kampuh paleng.

Di Bangsal Sri Manganti inilah puncak acara Labuhan Merapi digelar. Ritual untuk mempersembahkan doa dan uba rampe dari Sri Sultan Hamengku Bawono X. Setelah prosesi selesai, ubo rampe labuhan diperebutkan masyarakat.

Mereka percaya ada berkah dan keselamatan dalam hidup dalam ubo rampe labuhan Sri Sultan Hamengku Bawono X. Selain ube rampe, disertakan kembang setaman, nasi tumpeng, ayam ingkung, serta serundeng. Namun,
yang ini bakal dibagikan kepada pengunjung setelah upacara Labuhan.

Labuhan Merapi ialah salah satu upacara adat yang disakralkan masyarakat Yogyakarta dan sekitar Gunung Merapi. Kesakralan upacara terletak pada pranata keraton karena tidak boleh dilakukan secara serampangan. Hanya boleh dilakukan orang tertentu. Semua harus dilakukan secara khusus.

Pranata keraton itu merupakan manifestasi budaya yang bermakna membuang, menjatuhkan, atau menghanyutkan benda-benda yang telah ditetapkan keraton agar sultan dan rakyatnya mendapatkan keselamatan. Labuhan merupakan bentuk ucapan terima kasih atas keselamatan dan keberkahan dalam hidup.

Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada Profesor Sunyoto Usman, 65, mengungkapkan setidaknya ada tiga unsur yang terdapat dalam ritual tersebut, yakni keinginan, keyakinan, dan peluang. Keinginan merujuk pada harapan untuk diberi keselamatan dan kemudahan. Keyakinan didapati bahwa Merapi sudah terbukti memiliki kekuatan, sedangkan peluang merujuk pada ritual yang tetap dilakukan untuk menatap masa depan dengan keselamatan dan kemudahan.

“Jadi, ruang untuk itu memang tersedia dalam masyarakat adat Jawa,” terang Sunyoto. Masyarakat Jawa menganggap alam sebagai bagian tak terpisahkan dalam hidup dan kehidupan manusia. Kepercayaan ini lahir dari konsep keharmonisan. Semua berpadu tanpa harus bergesekan, apalagi menabrak satu sama lain. “Gunung, laut, pohon itu menjadi satu entitas dalam kehidupan,” terangnya. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya