Headline
Banyak pihak menyoroti dana program MBG yang masuk alokasi anggaran pendidikan 2026.
Banyak pihak menyoroti dana program MBG yang masuk alokasi anggaran pendidikan 2026.
ANGGAPAN perkebunan kelapa sawit sebagai industri tidak ramah lingkungan dipercaya sejumlah kalangan sebagai fakta tidak terbantahkan.
Namun, bagi Mujiman, 50, dan Sunarti, 48, itu tidak sepenuhnya benar.
Dengan teknologi sederhana, pasangan suami istri petani kelapa sawit di Desa Tanjung Makmur, Kecamatan Merlung, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi, itu menunjukkan perkebunan sawit dapat dikelola berkesinambungan, murah, dan ramah lingkungan.
Caranya melalui penghentian penggunaan pupuk kimia dan menggantinya dengan pupuk organik.
"Kami mengganti pupuk kimia dengan bahan dari urine sapi," papar Mujiman ditemani Sunarti di kebon sawitnya, Kamis (11/2).
Bahan-bahan untuk pupuk organik itu dikumpulkan dengan menampung seluruh urine sapi milik mereka.
Pada kandang berukuran 3 x 6 meter persegi di belakang rumah, Mujiman membuat saluran khusus urine yang bermuara di bak penampungan.
Setelah terkumpul, 200 liter urine sapi dicampur bahan lain, termasuk 2 kg gula merah.
Setelah itu, campuran didiamkan 15 hari agar ada proses fermentasi. Setelah itu, pupuk made in Mujiman siap digunakan.
"Sawit pun tetap produktif tanpa pupuk kimia," kata Sunarti, transmigran asal Surakarta, Jateng, sejak 1991.
Dengan pupuk urine sapi, mereka menghemat biaya perawatan kebon sawit seluas 5 hektare karena sudah dua tahun tidak membeli pupuk kimia.
Selain dimanfaatkan untuk sendiri, keduanya menjual kelebihan pupuk buatan pada sesama petani sawit swadaya.
"Pemasukan tambahan dari menjual pupuk urine rata-rata Rp1.500.000 per bulan," kata Sunarti.
Sekretaris Umum Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Swisto Uwin, yang memimpin kunjungan ke komunitas petani sawit swadaya di Tanjung Jabung Barat, mengatakan yang dilakukan Mujiman dan istrinya ialah fakta empiris bahwa konsep sawit ramah lingkungan dan berkelanjutan bukan slogan kosong.
"Apalagi, cara ini memangkas biaya perawatan kebun sawit hingga 70%," ujar Swisto.
Ketua SPKS Desa Tanjung Benanak, Merlung, Tanjung Jabung Barat, Jazuri, mengatakan skala yang dilakukan Mujiman dapat diperbesar dengan pengadaan mesin penggiling untuk mengolah daun-daun pohon sebagai pakan ternak.
"Selama ini sapi Pak Mujiman diberi makan rumput dengan cara ngarit di ladang. Jadi, sapi yang bisa diberi makan pun terbatas jumlahnya," kata Jazuri.
Namun, pengadaan mesin penggiling daun itu terkendala biaya, yakni sekitar Rp75 juta per unit.
Untuk itu, petani sawit swadaya seperti Mujiman dan Sunarti berharap dukungan pemerintah, sama seperti saat mereka dibantu dua ekor sapi yang kini terus berkembang biak. (Haryo Prasetyo/H-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved