Headline
Banyak pihak menyoroti dana program MBG yang masuk alokasi anggaran pendidikan 2026.
Banyak pihak menyoroti dana program MBG yang masuk alokasi anggaran pendidikan 2026.
SELAMA ini dunia telah menyaksikan negara-negara kecil dan kepulauan menjadi yang terdepan dalam mendorong pembatasan emisi.
Hal itu memang mudah dimaklumi karena negara-negara kepulauan memang paling rentan terhadap kenaikan muka air laut, sebuah kondisi yang dipicu melelehnya es di Kutub.
Namun, penelitian dari University of Queensland, Australia, dan Wildlife Conservation Society (WCS) menunjukkan fakta yang lebih memprihatinkan.
Hasil penelitian yang dipublikasikan di situs Newsroom.wcs.org pada Jumat (5/2) mengungkapkan adanya ketidakadilan global yang sangat besar.
Negara-negara yang paling sedikit menghasilkan gas rumah kaca justru paling rentan terhadap perubahan iklim.
Negara-negara kecil dan negara kepulauan selama ini tercatat minim menghasilkan emisi jika dibandingkan dengan negara maju.
Penelitian yang terbit di jurnal Scientific Reports itu menjelaskan mayoritas negara yang paling rentan ialah negara-negara Afrika dan negara-negara kepulauan kecil.
Kelompok negara itu menghadapi perubahan lingkungan yang serius, seperti banjir rob dan pembentukan padang pasir (desertification).
Korban terbesar era emisi juga termasuk negara-negara kurang berkembang.
Negara-negara itu tidak mempunyai sumber daya yang cukup untuk menghadapi perubahan iklim.
"Ada ketidakadilan global yang sangat besar di saat negara-negara yang paling bertanggung jawab terhadap perubahan iklim justru yang paling tidak rentan atau tahan terhadap efek perubahan iklim," tutur kepala tim peneliti Glenn Althor dari University of Queensland.
Penelitian itu menemukan 20 negara dari 36 negara emiter terbesar menjadi yang paling tidak rentan.
Negara-negara itu termasuk Kanada, Australia, Tiongkok, dan banyak negara Eropa Barat.
Sebaliknya, 11 negara dari 17 negara dengan emisi rendah hingga moderat justru yang paling rentan terhadap perubahan iklim.
Negara-negara itu kebanyakan berada di subsahara Afrika dan Asia selatan.
Seperti perokok pasif
Hasil penelitian tersebut membuat para peneliti cukup geram. Bahkan salah satu peneliti menyebut kondisi itu sebagai fenomena second-hand smoke atau perokok pasif.
"Ini seperti mereka yang tidak merokok terkena kanker karena menjadi perokok pasif. Sementara itu, para perokok berat itu dengan seenaknya tetap menyemburkan asap," tutur James Watson dari University of Queensland.
Lebih lanjut Watson mengungkapkan sudah semestinya para perokok berat membayar biaya kesehatan bagi para perokok pasif yang mereka celakai.
Tindakan mitigasi penting untuk segera dilakukan karena jika kondisi tidak berubah, para peneliti memperkirakan kondisi makin buruk pada tahun 2030.
Pada saat itu jumlah negara yang secara akut menjadi rentan akan semakin bertambah.
Negara-negara tersebut akan menderita banjir, kekeringan, kehilangan biodiversitas, dan merebaknya penyakit yang akan semakin mengerikan.
Para peneliti mengakui Kesepakatan Paris sebagai langkah maju signifikan dalam negosiasi iklim.
Namun, yang terpenting ialah segera membuat kebijakan yang berarti yang dapat mengikat negara-negara maju untuk menurunkan emisinya dan membantu negara kecil dalam adaptasi perubahan iklim. (Big/M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved