Headline
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan
PENGURUS Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menolak sejumlah kesepakatan KPK dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terkait dengan gratifikasi dokter. Beberapa poin yang ditolak ialah pemberlakuan aturan antigratifikasi pada dokter swasta, rencana perubahan Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki), dan anggapan bahwa harga obat mahal karena gratifikasi dokter. Penolakan itu disampaikan Ketua Umum PB IDI Ilham Oetama Marsis, di Jakarta, Kamis (11/2).
Dia menjelaskan, dalam peraturan baru terkait dengan antigratifikasi dokter yang tengah digarap bersama KPK, Kemenkes, Gabungan Pengusaha Farmasi, Badan Pengawas Obat dan Makanan, serta PB IDI, subjek hukum dokter yang bisa dijerat peraturan antigratifikasi diperluas, yaitu tidak hanya dokter berstatus aparatur sipil negara (ASN/PNS), tetapi juga dokter swasta.
Menurut Marsis, perluasan subjek hukum itu tidak tepat. Dengan mengacu kepada UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), tuntutan gratifikasi hanya bisa ditujukan kepada ASN dan yang terkait dengan uang negara. "Kalau dokter swasta bisa dikenai pasal gratifikasi, lalu cantolan payung hukumnya dari mana?" protes Marsis. Terkait dengan hal itu, sebelumnya Irjen Kemenkes Purwadi menyatakan bahwa dokter melakukan praktik pelayanan publik.
Oleh karena itu, mereka bisa dijerat pasal gratifikasi. Alasan lain, menurut Purwadi, dokter yang melayani program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) otomatis bisa dijerat pasal gratifikasi karena program JKN dibiayai dengan dana masyarakat dan pemerintah. Bagi Marsis, alasan tersebut dinilai terlalu mengada-ngada. Kalau model hukum itu diterapkan, nanti semua orang bisa dijerat pasal gratifikasi. "Sopir dan kernet metromini juga melakukan pelayanan publik. Kadang mereka juga menarik ongkos suka-suka. La, itu bisa dikenai gratifikasi juga, dong."
Hal lain, Marsis juga menolak anggapan bahwa gratifikasi dokter menjadi penyebab mahalnya harga obat. Menurut dia, tudingan itu tidak berdasarkan data dan fakta yang ada di lapangan. Menurut Marsis, harga obat di Indonesia menjadi mahal disebabkan kesalahan pemerintah. Bentuk kesalahan tersebut, antara lain, sampai saat ini industri farmasi belum bisa berdikari dalam menyediakan bahan baku obat. Sebanyak 90% bahan baku obat berasal dari impor.
Hal itulah yang, menurut dia, menjadi biang kerok tingginya harga obat. "Selain itu, kebijakan pemerintah yang melarang industri farmasi mengiklankan obat ethical (resep) di media massa. Imbasnya, mereka memanfaatkan jalur tenaga medis untuk berpromosi."
Kodeki
Sekjen PB IDI Adib Khumaidi menjelaskan penolakan pihaknya terhadap permintaan Kemenkes agar Kodeki nantinya diubah mengikuti peraturan antigratifikasi yang tengah digarap pemerintah. Menurut Adib, kedudukan kode etik berada di atas norma. Kedudukan norma tentu berada di atas aturan hukum. "Jadi, tidak mungkin kami mengubah Kodeki untuk disesuaikan dengan peraturan yang baru. Kodeki itu ada bersamaan dengan lahirnya profesi dokter," papar dia. Secara tegas Adib mengatakan pemberian sponsorship dari perusahaan farmasi kepada dokter dalam rangka pendidikan berkelanjutan dengan memenuhi batasan-batasan tertentu tidak diharamkan oleh Kodeki. "Praktik seperti itu juga terjadi di negara-negara maju, yang tentunya dilakukan dengan peraturan ketat," ujar Adib. (H-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved