Headline

. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.

Fokus

Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.

Pembenahan Data JKN Lebih Mendesak

Sri Utami
09/10/2019 04:00
Pembenahan Data JKN Lebih Mendesak
Wamenkeu Mardiasmo menjadi narasumber dalam diskusi Forum Merdeka Barat 9 di kantor Kementerian Kominfo, Jakarta, Senin (7/10/2019).(ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/aww.)

PEMBENAHAN data kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan perbaikan sistem, serta pelibatan pemerintah daerah secara aktif dianggap sebagai hal mendesak jika dibandingkan dengan penyesuaian tarif iuran. Hingga saat ini pemerintah belum final menentukan penerapan kebijakan terkait dengan defisit BPJS Kesehatan yang terus membengkak.

Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo dalam diskusi di Jakarta mengatakan pemerintah telah melakukan review. "Penyesuaian itu jelas dan opsi, dan selama itu penyesuaian iuran BPJS itu merupakan pilihan terakhir. Tapi sangat penting dilakukan perbaikan sistem, penguatan kerja sama pemda setelah itu dilaksanakan baru dilihat selisihnya berapa untuk tarifnya," jelasnya.

Selama ini diakui cukup banyak masalah, misalnya masih ada warga yang belum memiliki NIK. Kondisi itu, menurut Mardiasmo, perlu dibahas dengan Dukcapil. "Perbaikan lainnya, langsung atau tidak langsung yang bisa menghemat sekitar 60%," imbuhnya.

Mardiasmo memperkirakan defisit BPJS Kesehatan tahun ini lebih besar dari prediksi awal, yakni Rp28 triliun menjadi Rp32 triliun. Jumlah itu akan membengkak menjadi Rp37 triliun di tahun selanjutnya jika tidak segera ditetapkan keputusannya.

Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menambahkan, akumulasi defisit sangat mengkhawatirkan. "Semakin berlarut, tentu kita akan kena pasal denda 1% untuk klaim yang tertunda, dan kalau itu semakin besar, jadi beban lagi dari program ini," cetusnya. Kondisi tersebut juga ditambah dengan jasa faskes yang belum dibayarkan sejak April hingga September yang mencapai Rp11 triliun dan nilai tersebut terus bertambah pada bulan selanjutnya.

Terpisah, menurut pakar kesehatan dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) UGM, Yogyakarta, Laksono Trisnantoro, penyebab defisit BPJS Kesehatan karena kepesertaan PBPU atau mandiri, di kelas I, II dan III, tetapi tidak ada pembatasan layanan. Kelompok ini, katanya, lebih banyak menyedot dana dari APBN yang seharusnya untuk PBI atau kelompok miskin yang iurannya ditanggung pemerintah.

Alihkan subsidi energi

Untuk menanggulangi defisit BPJS, pemerintah diharapkan lebih kreatif mencari sumber pendanaannya. Menurut Ketua Dewan Pengurus Indonesian Health Economics Association Hasbullah Thabrany, pemerintah bisa mengalihkan subsidi energi ke sektor kesehatan.

"Subsidi energi di APBN 2019 tercatat Rp160 triliun. Subsidi peserta PBI-JKN sebanyak 40%, warga termiskin hanya Rp26,5 triliun. Kenapa tidak dialihkan saja?" kata Hasbullah. Ia menambahkan, pengalihan subsidi energi ke kesehatan bisa dilakukan Presiden Jokowi setelah keberhasilannya mengalihkan subsidi energi ke sektor infrastruktur.

"Untuk menciptakan SDM unggul, harus ada komitmen kuat dan aksi nyata." Defisit terjadi, ucapnya, karena pemerintah salah menetapkan besaran iuran sedari awal. (AU/Zhi/H-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik