Headline
Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.
Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.
BAGI sutradara Yosep Anggi Noen, 36, film merupakan salah satu mediumnya untuk memberikan ruang bagi suara-suara kaum yang termarginalkan. Dalam film terbarunya, Hiruk Pikuk si Al-kisah (The Science of Fiction), misalnya. Film yang mendapatkan penghargaan special mention pada kompetisi utama di Locarno Film Festival, Swis itu berkisah perjalanan Siman (Gunawan Maryanto).
Siman berjuang menjalani sisa hidup karena lidahnya dipotong dan tidak bisa bicara lantaran melihat pengambilan gambar pendaratan manusia di bulan oleh kru asing. Akibatnya, Siman menggunakan gerak tubuh untuk berdialog dengan orang-orang sekitarnya.
"Saya selalu percaya bahwa sebenarnya kepada siapa pun, kelompok yang memang termarginalkan harus disuarakan karena mereka voiceless. Kita sebagai kreator harus digugah untuk menyuarakan mereka. Saya menyebut ini sebagai membuka tawaran baru, terkait manusia Indonesia yang perkaranya ada hal yang lebih besar. Bagaimana demokrasi tumbuh dan kemiskinan diatasi," ungkapnya saat ditemui sesuai menjadi pembicara di Akatara 2019, di Hotel Sultan, Senayan, Jakarta Selatan, Jumat, (19/9).
"Mungkin bukan sebagai pahlawan yang 'sok' menyuarakan, tetapi kita punya sensibilitas terhadap persoalan itu, baik itu diatasi oleh mereka sendiri dengan cara khas yang dengan bangsa lain maupun rumpun, termasuk suku lain yang berbeda," sambung pria kelahiran 15 Maret 1983 itu.
Anggi Noen memang kerap menampilkan pergulatan manusia Indonesia dari kelompok minoritas dan 'kelas bawah'. Misalnya, dalam film Istirahatlah Kata-Kata (2017), ia mengangkat kisah aktivis-penyair Widji Thukul semasa direpresi rezim pemerintahan orde baru. Ia mengajukan pendekatan pergulatan personalnya untuk mengemukakan ide Widji Thukul.
"Saya selalu dealing dengan 'orang Indonesia' yang sebenarnya,. Pertama untuk mencukupi kebutuhan ekonomi, menyelesaikan persoalan ini ada di setiap level dan manusia punya caranya masing-masing. Dalam film saya, bagaimana orang bersiasat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dari masyarakat kelas menengah. Kedua dealing dengan identitas dia, tidak melulu soal agama atau ras, juga lebih ke personalnya, mengenai sikap hidup yang juga harus berinteraksi dengan orang lain secara subtil," imbuh sutradara asal Yogyakarta itu.
Oleh sebab itu, ia tidak ingin terjebak pada unsur-unsur yang sekadar ornamen keindonesiaan. Anggi mengangkat kompleksitas karakter. Ia pun menantang para kreator untuk melihat Indonesia tidak hanya sekadar secara artifisial. Bahkan ia menganggap bahwa kerap kali terjadi misslead dalam skala film untuk menunjukkan Indonesia dengan hanya sebatas hal indah dan ornamen fisik. "Hal-hal yang disebut kebudayaan bukan yang artifisial, bukan keindahan pantai atau laut," tukasnya.
Ruang Kontemplatif
Bagi Anggi, berlaga di festival internasional menjadi wahana untuk melihat ragam sinema dari berbagai latar kebudayaan dunia. Ia kerap membawa pertanyaan seusai menyaksikan film-film di festival internasional. Keikutsertaan Hiruk Pikuk si Al-kisah di Locarno pun menjadi penting untuk Anggi dan filmnya.
"Penghargaan ini penting buat saya, buat film ini. Karena saya rasa akan membawa film ini lebih dikenal. Tentu masuk ke kompetisi Locarno prestisius. Apa lagi dapat special mention. Saya rasa Locarno merupakan festival yang berani menyeleksi dan memilih film dari suara pembuat film yang punya visi, film dengan karakter keistimewaan cara tutur yang perosnal, unik, dan edgy. Selalu memancing banyak sekali pertanyaan ketika menontonnya. Datang, nonton film dan keluar dengan bukan konklusi. Keluar dengan pertanyaan soal kehidupan, kebudayaan dari tempat lahir film-film tersebut."
Menurutnya, film dari negara dunia ketiga yang tayang dan masuk dalam kompetisi di festival internasional bukan sekadar eksotis, melainkan perayaan keberagaman tema.
"Saya rasa banyak film yang diputar di Cannes, Locarno, atau Berlin menimbulkan pertanyaan, menjadi ruang pertemuan, ruang kontemplatif," ujarnya. Ia pun menyebut Hiruk Pikuk si Al-kisah juga akan meluncur di bioskop komersial secepatnya akhir 2019. (H-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved