Headline
Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.
Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.
Sejumlah organisasi lingkungan mengusulkan agar kebijakan moratorium hutan primer dan gambut diperkuat. Kebijakan moratorium yang tertuang melalui instruksi presiden itu diharapkan bisa ditingkatkan menjadi peraturan presiden.
"Moratorium yang sudah berjalan selama delapan tahun terakhir kami harapkan bisa menjadi peraturan presiden dan itu mengikat bagi semua pihak tidak hanya internal penerintah. Dengan Perpres, penegakan hukumnya juga akan lebih kuat," kata Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Teguh Surya, dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (16/5).
Sejak 2011, pemerintah menyetop sementara izin pengusahaan di hutan primer dan lahan gambut. Kebijakan itu dikeluarkan secara periodik setiap dua tahun.
Terakhir, moratorium ditandatangani Presiden Jokowi melalui Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penundaan dan Penyempurnaan Tata Kelola Pemberian Izin Baru Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Inpres itu akan habis masa berlakunya pada 17 Juli 2019.
Karena itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengusulkan penyetopan izin secara permanen. Beberapa waktu llau, KLHK menyebut pembahasan moratorium secara permanen dengan berbagai kementerian terkait sudah dalam tahap final.
Sementara itu, Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) juga mendorong pemerintah agar mempermanenkan moratorium. Namun, pemerintah harus menguatkan pengawasan untuk perbaikan tata kelola.
Pasalnya, Walhi mencatat selama kebijakan moratorium berjalan masih ada pelepasan kawasan hutan sekitar 9 juta hektare karena sejumlah pengecualian.
"Inpres saja tidak cukup tapi perlu Perpres agar lebih mengikat semua pihak," kata Kepala Departemen Advokasi Walhi, Zenzi Suhadi.
Ia juga mengusulkan agar moratorium permanen bisa mengecualikan program perhutanan sosial dan tanah objek reforma agraria (TORA). (OL-09)
(Dhk)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved