Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
UJI kompetensi sebagai syarat kelulusan mahasiswa ilmu kesehatan dikeluhkan Himpunan Perguruan Tinggi Kesehatan Indonesia (HPTI). HPTI meminta agar sistem uji kompetensi ditinjau ulang. Saat ini, uji kompetensi yang menjadi syarat kelulusan mahasiswa kesehatan dilakukan oleh tim panitia nasional, bukan perguruan tinggi sebagai penyelenggara pendidikan.
Kebijakan itu menuai pro dan kontra terutama bagi mereka yang dinyatakan telah lulus kuliah tapi tidak lulus uji kompetensi sehingga tidak bisa bekerja sebagai tenaga kesehatan karena belum memperoleh sertifikasi kompetensi dari Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dan panitia uji kompetensi.
Dasar dalam pelaksanaan uji kompetensi diatur dalam Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi (Permenristekdikti) Nomor 12 Tahun 2016 tentang Tata Cata Pelaksanaan uji Kompetensi Mahasiswa Bidang Kesehatan yang merupakan turunan dari Undang–Undang No 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan.
Menurut Sekretaris HTPI Gunarmi, Permenristekdikti itu bertentangan dengan amanah UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional karena mereduksi peran perguruan tinggi sebagai penentu kelulusan.
"Kami ingin uji kompetensi menjadi otonomi kampus. Kami juga menuntut pencabutan Permenristekdikti No. 12 Tahun 2016," ujarnya saat audensi dengan DPR RI, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, hari ini. Dalam audensi itu dilakukan juga aksi damai yang dihadiri oleh anggota HPTKes.
Gunarmi mengatakan, sejak aturan itu diberlakukan terdapat 357.028 lulusan yang tidak lulus uji kompetensi. Mereka terdiri atas para lulusan pendidikan D3 keperawatan dan D3 kebidanan.
Uji kompetensi nasional, terangnya, dilakukan dengan sistem Computer Based Test (CBT), sehingga peserta dari perguruan tinggi kesehatan yang tidak mempunyai sarana dan prasarana memadai harus ikut tes tersebut lintas perguruan tinggi bahkan lintas kota.
"Hal yang diujikan menurut kami hanya berbasis knowledge atau pengetahuan karena diujikan dengan komputer. Sedangkan, uji kompetensi sesungguhnya ialah pengetahuan, sikap dan keterampilan bagaimana berinteraksi dengan pasien," tuturnya.
Baca juga: Kurikulum Vokasional Disesuaikan dengan Kebutuhan Industri
Pada kesempatan yang sama, Ketua Bidang Akreditasi HPTI yang juga Ketua Sekolah Tinggi Kesehatan, Ferry Mendrova, yang juga Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Karya Husada Semarang, menuturkan, untuk mengukur kompetensi lulusan tidak harus melalui uji kompetensi secara nasional. Pasalnya, setiap semester para mahasiswa harus mengikuti ujian di perguruan tinggi masing-masing.
"Kelulusan ditentukan oleh ujian kompetensi nasional yang hanya berlangsung satu hari. Kita tidak melihat ekspresi mahasiswa bagaimana melayani pasien. Hanya berhenti pada ujian berbasis komputer itu dan mengabaikan proses pendidikan yang telah dipelajari sebelumnya" terangnya.
Selain itu, untuk mengukur perguruan tinggi yang kredibel atau berkualitas, Ferry mengatakan sudah ada akreditasi dari pemerintah yang bisa menentukan jumlah lulusan sehingga ia mempertanyakan otonomi kampus dalam menentukan kelulusan para mahasiswa.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristekdikti, Ismunandar, menjelaskan, uji kompetensi tetap dilaksanakan sebagai amanah Pasal 21 UU No 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan, mahasiswa bidang kesehatan pada akhir masa pendidikan vokasi dan profesi harus mengikuti uji kompetensi secara nasional.
Selain itu, uji kompetensi secara nasional diperlukan dalam upaya standardisasi dan penjaminan mutu lulusan pendidikan tinggi bidang kesehatan. Sejak 2014, telah dilaksanakan uji kompetensi secara nasional untuk program diploma III keperawatan dan diploma III kebidanan.
Ia mengakui masih ada banyak hal yang harus disempurnakan.
"Penyempurnaan akan dilakukan berkelanjutan dengan masukan dari semua stakeholder (pihak terkait)," terangnya.
Pemerintah, imbuhnya, berencana akan memberlakukan uji kompetensi untuk program studi kesehatan lain sebagai exit exam. Kebijakan itu mulai diberlakukan pada 2019 dan pelaksanaan secara penuh dilaksanakan setelah regulasi baru terbit dan sosialisasi telah dilakukan dengan komprehensif.
"Target awal dilaksanakan secara penuh pada 2020," ucapnya.
Kemenristekdikti dan Kemenkes akan memfasilitasi sosialisasi dan persiapan implementasi uji kompetensi nasional bidang kesehatan sebagai exit exam. Apabila seorang peserta tidak dapat memenuhi nilai batas lulus dari ujian ini, ia dinyatakan tidak dapat lulus dari pendidikan keperawatan atau kebidanan. (OL-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved