Headline
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
PROYEK pembangunan pembangkit listrik energi bersih PLTA Batang Toru dinilai sudah menerapkan mitigasi untuk mencegah kerusakan hutan sekaligus menjaga kelestarian orang utan. Karena itu perlu didukung dan tak perlu ada kekhawatiran berlebihan terhadap proyek yang termasuk dalam proyek strategis nasional tersebut.
Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut pertanian Bogor (IPB) Profesor Yanto Santosa mengatakan jika masih ada pihak asing yang keberatan dengan pembangunan pembangkit listrik yang menjadi bagian strategi pengendalian perubahan iklim itu, sebaiknya duduk bersama mencari solusi agar dampak yang dikhawatirkan tidak terjadi.
"Mari kita diskusi. Bukan untuk menolak, tapi mencari solusi agar apa yang mereka khawatirkan tidak terjadi," kata dia seperti dikutip dalam siaran pers yang diterima, Selasa (11/3).
Yanto pun menyarankan kepada Presiden Joko Widodo agar tidak perlu menanggapi desakan yang datang dari sejumlah pihak asing untuk menghentikan proyek tersebut. "Ini kedaulatan negara. Rencana pembangunan negara ini tidak boleh diatur oleh pihak lain," tegasnya.
Sebelumnya, sejumlah pihak asing mendesak Presiden Jokowi untuk membatalkan pembangunan PLTA Batang Toru. Desakan disampaikan lewat surat yang dilayangkan, Selasa (5/3). Mereka beralasan PLTA Batang Toru mengakibatkan punahnya orang utan Tapanuli dan merusak kehidupan masyarakat.
Mereka yang meneken surat tersebut di antaranya mantan Duta Besar Amerika Serikat (Dubes AS) untuk Indonesia Robert Blake Jr dan Cameron Hume, sejumlah mantan anggota kongres AS, termasuk Henry Waxman yang merupakan Chairman LSM Mighty Earth.
Yanto memahami ada perhatian soal keberadaan orang utan di ekosistem Batang Toru. Namun Yanto menekankan untuk tidak ada kekhawatiran yang berlebihan karena Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pun sudah memberi jaminan perlindungan orang utan di wilayah tersebut.
Berdasarkan kajian yang dilakukan tim IPB, di wilayah lokasi proyek pembangunan PLTA Batang Toru terdapat 2-3 individu orangutan.
"Data kerapatan individu orangutan yang kami gunakan sama, tapi LSM-LSM asing menghitung jumlah orang utan di seluruh wilayah Batang Toru jadi jumlahnya banyak. Sementara lahan yang digunakan proyek pembangunan sedikit, diperkirakan hanya ada 2-3 individu," kata dia.
Karena itu, menurut Yanto tidak elok jika masih ada upaya menghambat pembangunan PLTA Batang Toru. Pasalnya, pembangkit listrik energi bersih itu dibangun demi memenuhi kebutuhan listrik masyarakat sekaligus menjadi bagian dari kontribusi Indonesia dalam pengendalian perubahan iklim global.
Selain, masyarakat di Sumatra Utara sangat membutuhkan pasokan listrik yang andal. Saat ini, sebagian kebutuhan listrik itu dipenuhi dari kapal pembangkit listrik berbahan bakar fosil (solar) yang disewa dari luar negeri.
PLTA Batangtoru dirancang memiliki kapasitas 510 MW. Meski memiliki kapasitas besar, tapi bukan bendungan besar yang dibangun melainkan hanya kolam harian yang luasnya sekitar 90-an hektare. Bandingkan dengan kebutuhan lahan di PLTA Jatiluhur yang menghasilkan tenaga listrik 150 MW namun membutuhkan bendungan seluas 8.000 hektare.
PLTA Batangtoru menjadi bagian dari implementasi strategi Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) penyebab bencana perubahan iklim. Proyek tersebut dirancang bisa mengurangi emisi GRK hingga 1,6-2,2 juta ton setara CO2 per tahun dan bisa menghemat hingga Rp5 triliun per tahun jika dibandingkan penggunaan pembangkit listrik berbasis bahan bakar fosil. (RO/X-12)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved