Headline
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
JUMLAH penderita penyakit langka (rare disease) yang disebabkan oleh kelainan genetika terus bertambah, baik di dunia maupun di Indonesia.
Di Tanah Air, dari total populasi diperkirakan 25 juta mengidap penyakit langka.
"Ada 8.000 jenis penyakit langka di dunia. Dari ribuan jenis itu, penyakit mukopolisakaridosis (MPS) tipe 2 paling banyak terjadi di Indonesia," ujar Ketua Pusat Pelayanan Penyakit Langka di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) Dr Damayanti R Sjarif saat memperingati Hari Penyakit Langka Sedunia 2019, di Jakarta kemarin.
Penyakit MPS, lanjutnya, disebabkan tidak adanya enzim iduronate sulfatase yang berperan penting dalam memecah mucopolysaccharides dermatan dan heparan sulfate.
"Dua material itu tetap berada dalam sel darah sehingga menyebabkan kerusakan berkelanjutan. Penyakit itu sudah kami tangani, jumlah penderitanya sudah 100 lebih," tambah Damayanti.
Lebih lanjut, pakar penyakit nutrisi dan metabolik Departemen Ilmu Penyakit Anak FKUI/RSCM itu mengatakan penyakit langka biasanya tidak memberikan gejala yang langsung dapat dilihat.
Namun, seiring kerusakan sel gejala akan semakin tampak, di antaranya kegagalan perkembangan organ tubuh, bentuk wajah yang khas dan ketidaknormalan kerangka tubuh.
"MPS dapat diatasi dengan terapi enzim yang dilakukan seumur hidup. Meski demikian, hanya 5% penyakit langka yang memiliki terapi," ujarnya lagi.
Damayanti mengakui penderita penyakit langka di Indonesia belum mendapat penanganan yang memadai. Selain belum tersedia alat teknologi canggih untuk menskrining, pemerintah juga belum memberikan jaminan kesehatan (obat dan asupan makanan). Padahal, penyakit langka bisa dideteksi pada bayi baru lahir lewat skrining.
"Contohnya, ada pasien yang sampai sekarang masih hidup karena ia lahir di Jepang. Negara itu menskrining sehingga ia terdeteksi sejak dini," jelasnya lagi.
Di acara yang sama, Ketua Yayasan Mucopolly Sacharidosis dan Penyakit Langka Indonesia, Peni Utami, mengatakan deteksi dan diognosis yang lambat bahkan meleset banyak terjadi pada pasien penyakit langka.
Hal itu terjadi karena kemampuan tenaga kesehatan di level paling dasar, seperti bidan tidak mengetahui jenis penyakit langka.
"Ini tantangan terberat selama ini. Selain itu, penderita penyakit langka sering kali menerima stigma negatif dan dikucilkan karena dianggap sebagai penyakit kutukan. Kondisi itu diperparah dengan biaya pengobatan dan perawatan yang mahal bisa mencapai Rp6 miliar per tahun dan dilakukan seumur hidup. (Sru/X-7)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved