Headline
Pemerintah belum memastikan reshuffle Noel.
Apa yang membuat banyak kalangan, dan tentunya aparatus pers atau media massa, tetap merayakan Hari Pers Nasional hari ini, sebenarnya tidak lebih dari satu kebanggaan emosional terhadap profesi yang dianggap penuh kemuliaan dan perjuangan untuk mengangkat kemuliaan itu dengan segala risiko atau konsekuensinya. Mulai korban keluarga, materi, hingga nyawa dari sang jurnalis atau aparatus itu sendiri.
Namun, sebagian kalangan mungkin akan mempertanyakan selebrasi yang berbau 'romantik' itu. Bagi yang pragmatis atau oportunis bisa jadi menganggap profesi itu sekadar cara formal dan umum untuk mendapatkan biaya rumah tangga, sebagiannya memosisikan profesi itu sebagai batu antara atau jembatan untuk meraih posisi yang lebih baik di bidang lain.
Mungkin pula sebagian lain menganggap profesi wartawan, dalam pengertian tradisionalnya, hanyalah kekonyolan untuk bisa bertahan hidup karena nyawanya terancam habis oleh munculnya media massa baru dalam pelbagai platform virtual di dunia internet.
Kondisi itu dibuktikan dalam kenyataan yang terjadi hampir di seluruh dunia, termasuk di negeri-negeri dengan sejarah dan tradisi pers, media cetak khususnya, yang cukup panjang, seperti di Inggris, Prancis, atau Amerika Serikat (AS). Sebagian besar dari media massa cetak, yang tak lebih dari sepuluh tahun lalu memiliki tiras mengejutkan, hingga puluhan bahkan ratusan juta eksemplar tiap harinya -seperti di Jepang--gulung tikar karena terpaan tsunami media massa virtual, baik dalam bentuk 'dotcom' ataupun media sosial.
Bahkan media sekaliber Newsweek, Asiaweek, New York Times, atau New Yorker yang sebagian sudah berusia lebih dari satu abad, harus melakukan harakiri atau seppuku dan mereinkarnasi dirinya dalam bentuk yang lebih populer, lebih modern: media online.
Satu perubahan yang dianggap mampu mengatasi kesulitan terberat media cetak saat ini dalam soal finansial, terutama dalam overhead, seperti ongkos cetak, gaji pegawai dan infrastruktur.
New Yorker, media paling berpengaruh dalam proses kebudayaan di AS, misalnya, melakukan reinkarnasi untuk melakukan penghematan besar-besaran hingga bisa menurunkan harga terbitnya sampai 1.000%, menjadi US$1/minggu.
Harga yang lebih murah, sekitar 10% dari sebuah burger tradisional, atau seperti harga secangkir kopi di AS.
Namun tetap saja, masih cukup banyak kalangan di negeri dengan industri pers terbesar di dunia itu, termasuk mereka yang juga masih menyelebrasi Hari Pers di negeri ini, yang tetap percaya media massa cetak akan tetap dapat bertahan.
Dengan banyak faktor atau alasan dalam argumentasinya. Satu keadaan yang memang sesuai dengan kenyataan. Seperti posisi otoritatif media cetak yang tak bisa digantikan media online, dalam peri kehidupan masyarakat di berbagai bidang.
Harian seperti Kompas dan Media Indonesia, misalnya masih dijadikan barometer oleh banyak pihak dalam soal ketepatan dan kedalaman isinya. Juga tentu kekuatan (power)nya sebagai influencer dalam banyak bidang utama dalam kehidupan kita.
Seperti yang dinyatakan tokoh kulit hitam AS, Malcolm X, "Media (tradisional) memiliki kekuatan membuat yang bersalah jadi benar, yang benar jadi bersalah, karena media mengontrol pikiran massa."
Sebuah konstatasi yang juga dengan tegas diafirmasi musikus ternama, Jim Morrison, vokalis legendaris The Doors yang mati bunuh diri. Dia berkata, "Siapa pun yang mengontrol media, (dia) mengontrol pikiran (massa)."
Sesungguhnya, keberadaan media cetak, dalam semua filosofi hingga format tradisio-nalnya, seperti menjalankan tugas mulia, tugas kenabian, yang menjaga publik luas via para pembacanya untuk tetap berada dalam jalur kemuliaan peradaban, jalur yang menjadi pangkal idea(lisme) saat pers dan jurnalisme dilahirkan.
Ia seperti monumen hidup, bukan sekadar antitesis atau reminder dari kecenderungan global media sosial dan media online yang secara nyata-dalam pelbagai penelitian yang pernah dilakukan secara global-telah menjadi median dan medium bagi perluasan dan penetrasi kedustaan, fitnah, khianat hingga destruksi ketertiban (order) dan kemulian hidup yang berkeadaban.
Dramawan ternama, Tom Stoppard, sangat mempercayai itu saat ia menegaskan, "Siapa pun yang memiliki tujuan mengubah dunia, (dapat menjadikan) jurnalisme sebagai arsenal jangka pendek yang paling ampuh."
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved