Dua Hari Besar Keagamaan Momentum Ujian Toleransi

Arif Hulwan
23/12/2015 00:00
 Dua Hari Besar Keagamaan Momentum Ujian Toleransi
(ANTARA/Ahmad Subaidi)
Berdekatannya peringatan Hari Maulid Nabi Muhammad SAW dengan Hari Natal yang diperingati oleh umat Nasrani diharapkan semakin menumbuhkan sikap toleransi antarumat bergama di Indonesia.

"Bagi umat Islam sikapnya sudah jelas seperti yang diajarkan Alquran "lakumdinukum waliyadiin" yang artinya non muslim punya hak untuk beribadah dan umat Islam tidak akan mengganggunya. Sebaliknya umat Islam punya hak menyambut Maulid Nabi SAW dan non muslim juga harus menghormatinya," kata Imam Masjid Istiqlal KH Ali Mustafa Yakub, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (22/12).

Untuk itu Ali Mustafa juga mengingatkan agar tidak ada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan suasana penuh toleransi tersebut mengatasnamakan agama tertentu mengenakan atribut-atribut tertentu memaksakan kehendaknya. "Pluralisme agama di Indonesia harus di pegang teguh," ujarnya.

Baginya, Nabi Muhammad SAW dulu juga mempraktikkan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat. Itu tercermin dari keberadaan lima agama di lingkungannya, yakni Islam, Nasrani, Yahudi, Majusi, dan sinkritisme. Namun, mereka hidup berdampingan secara damai tanpa ada yang saling mengganggu.

KH Ali Mustafa menambahkan pemerintah Indonesia pada dasarnya juga sudah memiliki sikap tegas dalam toleransi beragama. Hal itu bahkan sudah ada di UUD 1945 yang digagas oleh founding father. "Cuma sayangnya beberapa anggota masyarakat sendiri terkadang menyalahkan jaminan kebebasan agama bagi warganya tersebut."


MUI: Tak perlu paksakan pakai atribut

Perayaan dua hari besar itu harus dilakukan secara proporsional dengan menghargai keyakinan masing-masing agar tak menimbulkan gejala intoleransi lebih jauh.

"Masing-masing rayakan dengan penuh suka cita. Tapi kemudian yang lainnya ya sudah hargai soal keyakinan itu," ucap Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin, saat dihubungi, pada Selasa (22/12).

Ia menjelaskan proporsional dalam hal perayaan bersama itu artinya membedakan antara hubungan sosial antarmanusia (muamalat) dengan relasi keimanan. Sebab dalam Islam, katanya, ada prinsip lakum dinukum waliyadin. Bahwa, urusan prinsip keyakinan adalah urusan masing-masing penganutnya.

"Dalam hal kemanusiaan bisa bekerjasama. Dalam hal-hal yang kemudian menyeremepet wilayah keyakinan akidah atau keyaknian, ini perlu disikapi dengan bijak," jelasnya.

Selain mencontohkan toleransi yang berlebihan dengan ikut serta dalam peribadatan agama lain, Din juga mewanti-wanti soal penggunaan atribut keagamaan tertentu pada yang bukan pemeluknya. Misalnya, penggunaan topi sinter clas bagi karyawan pusat perbelanjaan.

"Toleransi bukan di situ. Itu simbolik memang. Tapi itu bisa dianggap memasuki wilayah keimanan. Bahkan bisa memicu bibit intoleransi," cetus mantan Ketua PP Muhammadiyah itu.

Bibit intoleransi itu, lanjutnya, hadir dari pandangan pihak yang masih memegang prinsip keimanan secara kuat terhadap pemakaian simbol-simbol agama lain itu. Ini diperparah dengan semaraknya perayaan, misalnya, di pusat perbelanjaan di hari perayaan keagamaan tertentu saja. mItu dinilainya bakal semakin menimbulkan kecemburuan sosial.

"Dua hari raya bersamaan sangat mungkin jadi pelajaran sekaligus ujian bagi kerukunan itu sendiri, apakah kita dapat saling menghargai atau tidak. Yang jelas toleransi jangan salah kaprah," kata dia.

Lantaran itulah, Din menganjurkan agar tidak diterapkannya kewajiban memakai atribut keagamaan tertentu bagi yang bukan pemeluk keyakinannya, sekaligus lakukan perayaan secara sederhana.

"Ini sama-sama bentuk intoleransi juga. Intoleransi itu kan ada yang nampak, ada yang tidak nampak. Mungkin mereka tidak berniat, tapi ini bisa dipersepsikan orang lain sebagai bentuk mengukuhkan dominasi pada pihak lain. Ini harus peka dalam hubungan beragama," tuturnya. (Q-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya