Media Sosial Picu Perceraian

Puput Mutiara
21/12/2015 00:00
Media Sosial Picu Perceraian
(ILUSTRASI--ANTARA/Arief Priyono)
Tren perceraian di Indonesia terus mengalami peningkatan. Ironisnya, 70% perceraian dilakukan oleh kaum hawa (cerai gugat) yang salah satunya disebabkan oleh pengaruh media sosial dan gaya hidup.

Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama (Kemenag) tahun 2015 menemukan, sebanyak 25.310 kasus gangguan pihak ketiga dalam rumah tangga yang berujung pada perceraian.

"Selain itu ada sekitar 9 ribuan kasus cemburu. Tidak sedikit yang bermula dari jalinan hubungan melalui media sosial," ujar Kustini, Kepala Bidang Litbang Aliran dan Pelayanan Keagamaan Kemenag Kustini saat acara Ekspos Hasil Penelitian Keagamaan 2015 di Jakarta, hari ini.

Lebih lanjut, ungkapnya, fenomena cerai gugat lantaran perkembangan teknologi khususnya telepon genggam dan media sosial banyak terjadi di Aceh. Mayoritas perempuan di sana memaknai perceraian sebagai lompatan untuk menuju hidup yang lebih baik.

Bahkan, tidak jarang yang menganggap perceraian sebagai sebuah fase dan kesempatan untuk mendewasakan diri. Padahal dampak yang paling kentara adalah semakin lemahnya ketahanan keluarga.

Akan tetapi, jelas Kustini, ada tiga faktor utama lain yang umumnya menjadi penyebab perceraian. Antara lain ketidakharmonisan di dalam rumah tangga, tidak ada tanggung jawab suami, serta masalah ekonomi.

"Kecenderungan perempuan bekerja saat ini semakin mendorongnya untuk mengambil keputusan. Meski sebenarnya alasan istri menggugat cerai ternyata tidaklah sederhana," ucap dia.

Cendekiawan Muslim Azyumardi Azra menambahkan, tradisi budaya etnis kaum muslimin Indonesia turut menjadi faktor penyebab tingginya angka perceraian. Selain itu yang tak kalah penting yakni perkawinan usia muda dan kawin perjodohan.

"Kerentanan sosial ekonomi yang dialami saat berumah tangga sangat memungkinkan mereka untuk cerai, dengan mudah kembali ke keluarga," tuturnya.

Sehingga, menurut mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah itu, perlu adanya pembekalan baik secara fisik maupun mental bagi calon pengantin. Termasuk meningkatkan pemahaman esensi sebuah pernikahan yang lebih sakral.

Kursus pranikah

Dalam hal ini, Kepala Badan Litbang dan Diklat Kemenag Abdul Rahman Mas'ud lantas mengusulkan agar pemerintah mewajibkan calon pengantin mengikuti kursus pranikah. Hal itu bisa dipertegas ke dalam sebuah kebijakan baru.

"Kami sebutnya kursus calon pengantin. Sekarang sudah ada di KUA-KUA, tapi belum efektif karena anggaran. Nantinya bisa dilakukan selain oleh KUA, misal ormas Islam," tukasnya.

Pasalnya, terang dia, kursus calon pengantin sangat penting untuk mengurangi angka perceraian. Di dalamnya harus meliputi pendidikan dan pemahaman pentingnya menjaga keharmonisan rumah tangga.

Ditambah lagi, ajaran Islam menyebutkan seseorang yang menikah artinya siap menjalankan kewajiban yang dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Dengan demikian harus dilandasi kesiapan yang cukup.

"Kesakralan itu harus didasarkan pada hati nurani. Kalau pun kursus itu dirasa memberatkan, kita akan cari formulanya. Mungkin cukup sebulan tiga kali," ucap dia.(Q-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya