Headline

DPR klaim proses penjaringan calon tunggal hakim MK usulan dewan dilakukan transparan.

Jadikan Mitigasi Bencana Agenda Prioritas Nasional

(H-3)
09/10/2018 02:30
Jadikan Mitigasi Bencana Agenda Prioritas Nasional
(DOK/Istimewa)

HIDUP di zona bencana geologi yang berbentuk tapal kuda atau cincin api (ring of fire), membuat Indonesia harus waspada dan antisipatif. Salah satu yang bisa dilakukan ialah dengan pemetaan mikrozonasi untuk meng-antisipasi bencana berulang.
Sebagai salah satu badan yang bertanggung jawab soal pemetaan, bagaimana amatan badan Informasi Geospasial (BIG) terhadap hal itu? Mengapa daerah masih mengabaikan sinyal bencana dengan membangun infrastruktur di lokasi berisiko? Berikut ini petikan wawancara Media Indonesia dengan Ferrari Pinem, Kabid Pemetaan Kebencanaan dan Perubahan Iklim BIG, di Jakarta, Senin (8/10).

Sejauh mana peran BIG dalam penanganan kebencanaan?
Sesuai dengan peraturan yang berlaku (UU 4/2011), BIG memiliki kewenangan dalam penyediaan peta dasar yang dijadikan acuan dalam penyusunan peta-peta tematik, salah satunya pemetaan kebencanaan. Peta dasar yang diproduksi BIG sangat membantu karena presisi dan akurasinya dalam menentukan lokasi tertentu seperti bencana.
BIG sendiri memiliki beberapa unit teknis yang secara tidak langsung berkontribusi dalam penanganan dan penanggulangan bencana. Unit teknis ini bertanggung jawab dalam mengeluarkan data-data spasial tertentu.

Ada berapa jenis peta kebencanaan dan siapa yang berwenang mengeluarkannya?
Dalam peraturan kepala BIG no 54/2015 beberapa peta kebencanaan yang diproduksi wali datanya di antaranya multirawan bencana (BIG), risiko bencana (BNPB), rawan banjir (BIG), bencana geologi/landslide, tsunami, volcano and earthquake (ESDM), kekeringan (BMKG), erosi (KLHK), dan kebakaran hutan (KLHK). Untuk standar pemetaan, hal yang paling utama ialah harus terintegrasi dengan pemetaan dasar (RBI) yang dikeluarkan BIG untuk menghindari ketidakakuratan.

Mengapa banyak daerah yang masih membiarkan pembangunan infrastruktur di zona rawan?
Pertama, daerah masih lebih mementingkan rekomendasi yang mengedepankan investasi ekonomi sebagai prioritas. Hal ini tentunya akan berbanding terbalik apabila aspek kerawanan bencana yang dikedepankan.
Kedua, ketidakpahaman menyikapi rekomendasi kebencanaan untuk dimasukkan ke perencanaan pembangunan infrastruktur atau tata ruang. Ketiga, pemahaman ilmu geospasial (keruangan) yang masih sedikit. Jumlah SDM di daerah  yang menguasai ilmu informasi geospasial dalam perencanaan tata ruang masih sangat sedikit.

Berapa dana yang dibutuhkan untuk membuat peta kebencanaan?
Tidak dapat dipastikan berapa harga yang dapat dibebankan untuk menyusun suatu peta bencana. Hanya saja untuk pemetaan bencana pada skala besar (1:1000 sampai 1:10.000) tentunya akan lebih mahal daripada peta skala menengah atau kecil.

Sulawesi Tengah termasuk salah satu daerah yang mengabaikan peta bencana yang dibuat Badan Geologi pada 2012 silam. Komentar Anda?
Bila melihat pertumbuhan kota Palu yang begitu pesat, meskipun sudah ada kajian sebagai wilayah yang sangat rawan bencana dapat mengindikasikan bahwa ada yang salah dalam kebijakan perencanaan tata ruangnya.

Apa rekomendasi yang diberikan BIG agar bangsa ini sadar dan siap menghadapi bencana?
Perlu koordinasi antarkementerian dan lembaga dalam menyiapkan data dan informasi kebencanaan, agar dapat bersinergi dan selaras satu sama lain. Jadi, produk yang dihasilkan tidak tumpang tindih dan berinformasi ganda. Rekomendasi dari kajian-kajian risiko bencana sudah seyogianya diperhatikan dan dijadikan basis dalam penyusunan perencanaan tata ruang. Penguatan pada aspek mitigasi dan kesiapsiagaan dapat menyikapi potensi ancaman bencana agar dapat mengeliminasi dampak bencana bila terjadi. Sudah saatnya pemerintah menjadikan bencana sebagai agenda prioritas nasional yang tentunya harus sejalan dengan penguatan anggaran di bidang kebencanaan. (H-3) 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya