BADAN Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengeluhkan masih tingginya puskesmas melakukan tindak rujukan yang tidak perlu (penyakit nonspesialisasi) ke rumah sakit (RS) di sepanjang awal tahun ini. "Penyakit yang seharusnya nonspesialisasi, banyak yang dirujuk ke RS. Artinya, puskesmas gagal menjadi gate keeper pelayanan pengobatan penyakit," ujar Direktur Pelayanan BPJS Kesehatan Fadjriadinur di Jakarta, kemarin. Rujukan yang tidak perlu dapat terlihat dari data yang dihimpun BPJS Kesehatan sepanjang Januari-Febuari 2015. Pada periode itu tercatat 14,6 juta peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola BPJS Kesehatan berobat di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP), seperti puskesmas, klinik pratama, dan dokter praktik pribadi.
Dari total itu, sebanyak 2,2 juta pasien yang berobat di FKTP, khususnya di puskesmas, sekitar 15,3% di antaranya dirujuk ke RS. Hasil evaluasi dan monitoring yang dilakukan BPJS Kesehatan, dari total pasien yang dirujuk tersebut, 214.706 kasus di antaranya terbukti tidak perlu dirujuk ke RS, cukup diobati ditingkat FKTP. Disimpulkan bahwa sistem rujukan berjenjang yang dianut program JKN tidak berjalan baik. Seharusnya FKTP dapat menangani pengobatan 155 diagnosis penyakit sehingga tidak perlu ada penumpukan pasien di RS. Pemberian rujukan ke fasilitas kesehatan (faskes) sekunder di RS tipe D dan C hanya untuk kasus penyakit yang perlu ditangani dokter spesialis dan rujukan ke faskes tersier di RS tipe B dan A untuk penyakit subspesialis.
Fadjri menambahkan, pada 2014 tingkat rujukan yang dilakukan FKTP ke RS mencapai 17%. Angka rujukan itu juga tergolong tinggi. Idealnya, maksimal rerata tingkat rujukan FKTP ke RS tidak boleh lebih dari 10%. Bila rujukan di atas persentase maksimal, artinya terdapat permasalahan di FKTP tersebut. "Rujukan yang tidak perlu tersebut menyebabkan pembengkakkan biaya klaim BPJS Kesehatan," ungkap oleh Kepala Departemen Promotif dan Preventif BPJS Kesehatan, Ansharudin, pada kesempatan terpisah sebelumnya. Banyaknya kasus rujukan yang tidak perlu juga disampaikan oleh Wakil Ketua Majelis Etik Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Widyastuti. Bahkan, menurut catatan Persi, 70% kasus yang ditangani di RS sejatinya cukup dituntaskan di tingkat puskesmas.
Puskesmas belum memadai
Saat menanggapi tingginya tingkat rujukan di FKTP, khususnya pada puskesmas, Dirjen Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Akmal Taher mengatakan, bukan berarti serta merta terdapat tindakan kecurangan (fraud) yang dilakukan oleh puskesmas. Bisa saja, kata dia, fasilitas atau peralatan dan tenaga medis di puskesmas tersebut masih belum memadai. Saat ini, lanjutnya, baru sekitar 70% puskesmas yang tergolong memiliki fasilitas alat dan SDM yang lengkap. Untuk itu, ke depannya, Kemenkes akan terus berupaya memerkuat fasilitas kesehatan dan SDM di FKTP.
Dari total itu, sebanyak 2,2 juta pasien yang berobat di FKTP, khususnya di puskesmas, sekitar 15,3% di antaranya dirujuk ke RS. Hasil evaluasi dan monitoring yang dilakukan BPJS Kesehatan, dari total pasien yang dirujuk tersebut, 214.706 kasus di antaranya terbukti tidak perlu dirujuk ke RS, cukup diobati ditingkat FKTP. Disimpulkan bahwa sistem rujukan berjenjang yang dianut program JKN tidak berjalan baik. Seharusnya FKTP dapat menangani pengobatan 155 diagnosis penyakit sehingga tidak perlu ada penumpukan pasien di RS. Pemberian rujukan ke fasilitas kesehatan (faskes) sekunder di RS tipe D dan C hanya untuk kasus penyakit yang perlu ditangani dokter spesialis dan rujukan ke faskes tersier di RS tipe B dan A untuk penyakit subspesialis.
Fadjri menambahkan, pada 2014 tingkat rujukan yang dilakukan FKTP ke RS mencapai 17%. Angka rujukan itu juga tergolong tinggi. Idealnya, maksimal rerata tingkat rujukan FKTP ke RS tidak boleh lebih dari 10%. Bila rujukan di atas persentase maksimal, artinya terdapat permasalahan di FKTP tersebut. "Rujukan yang tidak perlu tersebut menyebabkan pembengkakkan biaya klaim BPJS Kesehatan," ungkap oleh Kepala Departemen Promotif dan Preventif BPJS Kesehatan, Ansharudin, pada kesempatan terpisah sebelumnya. Banyaknya kasus rujukan yang tidak perlu juga disampaikan oleh Wakil Ketua Majelis Etik Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Widyastuti. Bahkan, menurut catatan Persi, 70% kasus yang ditangani di RS sejatinya cukup dituntaskan di tingkat puskesmas.
Puskesmas belum memadai
Saat menanggapi tingginya tingkat rujukan di FKTP, khususnya pada puskesmas, Dirjen Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Akmal Taher mengatakan, bukan berarti serta merta terdapat tindakan kecurangan (fraud) yang dilakukan oleh puskesmas. Bisa saja, kata dia, fasilitas atau peralatan dan tenaga medis di puskesmas tersebut masih belum memadai. Saat ini, lanjutnya, baru sekitar 70% puskesmas yang tergolong memiliki fasilitas alat dan SDM yang lengkap. Untuk itu, ke depannya, Kemenkes akan terus berupaya memerkuat fasilitas kesehatan dan SDM di FKTP.