Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
TINGGINYA pernikahan dini berdampak pada meningkatnya angka kegagalan dalam membangun keluarga. Data BPS 2010 menunjukkan kasus perceraian tertinggi menimpa kelompok usia 20–24 tahun dengan usia pernikahan belum genap lima tahun.
“Diduga, tingginya angka perceraian pada kelompok tersebut akibat pernikahan yang dilakukan pada usia muda sehingga belum siap dalam menjalani kehidupan berkeluarga,” kata Pelaksana Tugas Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Sigit Priohutomo, pada Diskusi Pakar/Ahli dan Pemangku Kepentingan tentang Kesiapan dan Perencanaan Berkeluarga bagi Remaja di Jakarta, Kamis (30/8).
Menurut Sigit, tingginya jumlah pasangan muda yang bercerai mengindikasikan banyaknya pasangan muda yang belum memperhatikan kesiapan menikah.
Pada kesempatan sama, pakar bidang ketahanan dan pemberdayaan keluarga dari Institut Pertanian Bogor, Euis Sunarti, mengatakan fenomena yang terjadi saat ini, remaja hanya siap secara fisik untuk menikah, tetapi tidak memiliki kesiapan sosial, spiritual, emosional, dan ekonomi.
Paparan akses pornografi serta contoh yang tidak baik dari berbagai sumber menyebabkan ketimpangan antara kesiapan fisik dan nonfisik itu. “Banyak yang menikah saat remaja karena terdorong kebutuhan fisik. Secara emosional kurang matang akhirnya timbul perceraian. Angkanya perceraian di Indonesia saat ini sangat tinggi, hingga 40 perceraian per jam atau 1.000 perhari yang sebagian besar diajukan oleh perempuan,” ungkapnya.
Selain pengaruh pornografi, faktor budaya lokal dan masalah ekonomi juga turut memicu pernikahan dini, terutama di daerah-daerah. “Karena mereka tidak memiliki akses informasi yang baik, seperti di kota, perekonomian terbatas, tidak mau menjadi beban keluarga akhirnya memilih menikah dini.”
Pendidikan seksualitas
Psikolog anak dan remaja, Roslina Verauli, mengatakan intervensi yang dilakukan pemerintah untuk mempersiapkan remaja yang akan berkeluarga haruslah menyeluruh, dimulai sejak anak-anak.
“Kita masih gagal dalam memberikan pendidikan seksualitas. Bagaimana anak-anak mengenali dirinya sebagai laki-laki dan perempuan dan apa peran yang akan diemban saat dewasa.”
Edukasi itu bisa dilakukan melalui pendidikan seksualitas dan gender di sekolah. Orangtua juga harus memenuhi kebutuhan afeksi anak sebab kekurangan kasih sayang membuat anak mencari dari pihak lain yang cenderung menjerumuskan pada hal negatif.
Ketua Komisi IX DPR, Dede Yusuf, menilai hal pertama yang harus disosialisasikan BKKBN agar remaja memberi perhatian terhadap perencanaan berkeluarga ialah pemaparan definisi keluarga yang harmonis, mapan, dan sehat.
“Kita jelaskan dulu agar masyarakat paham apa keluarga sehat, harmonis, mapan. Dengan demikian, masyarakat memahami bagaimana menuju ke arah sana,” terangnya. (H-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved