Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Akses Obat bagi Pasien Skizofrenia Masih Terbatas

Indriyani Astuti
30/8/2018 17:15
Akses Obat bagi Pasien Skizofrenia Masih Terbatas
(Grafik/MI)

PASIEN skizofrenia masih sulit mendapatkan obat. Padahal, pengobatan sangat mereka butuhkan guna mencegah kekambuhan (relaps) penyakit. 

Ketua Komunitas Perduli Skizofrenia Agus Sugihanto menuturkan masih banyak obat-obatan yang tidak dijamin oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sehingga pasien harus mengeluarkan biaya sendiri.

"Penyediaan obat-obatan sangat kurang di fasilitas kesehatan tingkat pertama," ujar pria yang saat ini menjadi peyintas Skizofrenia dalam acara Southeast Asia (SEA) Mental Health Forum 2018 di Jakarta, Kamis (30/8). 

Acara itu diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan, Persatuan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa (PDSKJ), dan Jhonson&Johnson. Dihadiri oleh pemerintah, organisasi profesi, akademisi, pakar dari berbagai negara guna membahas layanan kesehatan jiwa yang komprehensif khususnya bagi pasien skizofrenia.

Belum tersedianya akses obat bagi pasien Skizofrenia di tingkat pelayanan primer, diakui oleh Ketua Umum PDSKJ Pusat  Dr. Eka Viora SpKJ. 

Ia menjelaskan ketidaksediaan obat-obat di puskesmas disebabkan karena puskesmas baru dapat mengajukan pembelian obat ke dinas kesehatan (dinkes) terkait apabila ada diagnosis pasien.

"Dinkes tidak akan membeli obat. Dinkes akan membeli obat sesuai laporan yang dikirim puskesmas dari sana dibuat rencana kebutuhan obat," tutur Eka.

Kendalanya ialah, kompetensi dokter di fasilitas kesehatan tingkat primer atau puskesmas masih kurang dalam mendiagnosis pasien-pasien dengan gejala skizofrenia tahap awal. Padahal, terang Eka, organisasi profesi telah memberikan panduan bagi tenaga kesehatan di puskesmas untuk dapat mendiagnosis pasien skizofrenia sehingga tidak harus dirujuk ke rumah sakit.

"Ada 144 diagnosis termasuk penanganan skizo tanpa komplikasi yang harusnya bisa ditangani di puskesmas. Tapi puskesmas tidak mampu menangani," imbuh dia.

Sementara itu, Ketua Pusat Kebihakan Pembiayaan Manajemen Asuransi Kesehatan (KP-MAK) Universitas Gadjah Mada (UGM) Diah Ayu Puspandari menuturkan untuk memberikan pengobatan skizofrenia yang efektif dan efisien, diperlukan model manajemen layanan yang komprehensif dan mekanisme pembiayaan yang memadai. 

Panduan itu dirumuskan bersama dan merupakan langkah pertama dalam mengembangkan model manajemen pembiayaan yang ideal untuk layanan sklzofrenia.

Menurutnya, masing-masing negara di Asia Tenggara perlu memasukkan pembiayaan kesehatan jiwa, termasuk skizofrema, sebagai bagian dan upaya menjaga kesehatan masyarakat yang meliputi kesehatan mental dan jiwa dalam skema pembiayaan melalui sistem asuransi nasional dan swasta. 

"Mengingat shizofernia adalah penyakit kronis yang membutuhkan penanganan yang sangat lama, diperlukan model layanan non-stigma, mudah didapatkan, ramah pasien, tidak diskriminatif untuk menyediakan Iayanan yang berkelanjutan dan komprehensif dengan pembiayaan yang memadai"  tukasnya.

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi gangguan emosional yang ditunjukan dengan gajala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas mencapai 14 juta atau 6% dari jumlah penduduk. Sementara prevalensi gangguan jiwa berat seperti skizofrenia mencapai 400.000 jiwa atau 1,4% per 1000 penduduk. (OL-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dwi Tupani
Berita Lainnya