Headline
Penyelenggara negara tak takut lagi penegakan hukum. Kisruh royalti dinilai benturkan penyanyi dan pencipta lagu yang sebenarnya saling membutuhkan.
Penyelenggara negara tak takut lagi penegakan hukum. Kisruh royalti dinilai benturkan penyanyi dan pencipta lagu yang sebenarnya saling membutuhkan.
PENTINGNYA pendidikan dalam kehidupan ditunjukkan Kadiyono. Sejak usia 8 tahun, Yono memenuhi kebutuhan pendidikannya dengan menjadi tukang tambal ban. Pekerjaan yang diwarisi dari ayahnya.
"Dulu bapak saya, untuk mencukupi kebutuhan delapan anak, ia melakukan perkerjaan tambal ban, bengkel mobil, setel pelek, dan lainnya. Hanya saya sendiri yang mengikuti jejak bapak," ujar Yono. Meski hanya penambal ban, ayahnya bisa menyekolahkan semua anaknya hingga SLTA.
Semua uang yang dikumpulkan berhasil membiaya sekolahnya hingga kuliah. Namun, butuh 11 tahun bagi Yono menyelesaikan pendidikan S-1. Durasi itu bukan hanya masalah biaya karena ia sempat putus kuliah.
"Dulu saya itu kuliah di jurusan yang namanya penerangan, dan itu putus karena dihapus. Akhirnya dengan berat hati saya kerja nambal ban lagi. Setelah itu, saya menikah dengan istri saya, kemudian saya dapat dorongan dari istri. Pak, kamu harus kuliah lagi, katanya, pokoknya kamu harus kuliah lagi. Akhirnya, saya beberapa tahun kuliah dan alhamdulillah selesai selama 11 tahun," ungkap bapak tiga anak ini.
Pascalulus, Yono berkesempatan mengajar di MI Muhammadiyah Boja. Di sanalah pria kelahiran Kendal, 16 Maret 1969 ini bertemu murid berkebutuhan khusus. Hingga tepercik ide membuat sekolah luar biasa (SLB). "Jadi pas di sana itu, kami punya satu siswa (berkebutuhan khusus). Saat itu, guru yang menangani kurang maksimal menangani anak-anak yang disabilitas itu. Setelah itu, kami berpikir anak-anak seperti ini memang harus dikhususkan karena dimaksudkan untuk pengajaran maksimal bagi anak-anak disabilitas itu," ungkapnya.
Keinginannya membuat SLB semakin kuat saat ia mengambil kuliah S-2 di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Di sana ia sempat tinggal di Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat (RSBM), khusus untuk tunadaksa dan berdekatan dengan sekolah penyandang autis.
Mulai dari situ, Yono bermimpi bisa membantu anak-anak berkebutuhan khusus di daerahnya. Ia dan lima relawan guru akhirnya berhasil mendirikan SLB. Kala itu baru ada empat siswa.
Yayasan
Mei 2015 menjadi awal Yono mendirikan Yayasan Insan Tiara Bangsa. Yono mencari murid mulai door to door. Yono merasa untuk membangun Yayasan dibutuhkan murid, guru, dan terakhir baru tempat.
Mencari tempat pun bukan perkara mudah. Bermodalkan hasil penjualan motornya, Yono dan istrinya, Mutmainah, berkeliling mencari rumah. Namun, berbagai penolakan diterimanya karena mereka takut rumahnya rusak.
Meski menemani, butuh waktu bagi Yono meyakinkan Mutmainah akan keinginannya membangun yayasan. Yono pun sampai meminjam Taman Pendidikan Qur'an (TPQ) untuk Yayasannya.
Perizinan untuk mendirikan Yayasan ini pun tersendat selama satu tahun karena belum memiliki tempat dan guru pendidikan luar biasa (PLB). Akhirnya, Yono mendapatkan bantuan dari orangtua siswa yang mau menjual tanahnya dengan cara pembelian angsuran Rp500 ribu per bulan. Setelah itu, Yono mendapatkan guru PLB dan izin, hingga mendapatkan dana bantuan operasional sekolah (BOS).
Banyak kegiatan yang dilakukan di SLB. Semuanya disesuaikan dengan kondisi siswanya. "Senin, Selasa, Rabu, Kamis, kami adakan baca, tulis, hitung (calistung) yang disesuaikan dengan siswa. Kami membaginya dalam beberapa kelas. Bisa dikatakan anak tunawicara ada 12 anak yang di dalamnya ada tingkat SD, SMP, dan SMA. Karena tempat kami terbatas dan guru pun terbatas," ungkapnya. Di samping itu, mereka diberikan keterampilan seperti membuat batik ciprat dan batik jumput.
Mengusung visi sosial, yayasan ini menerima semua siswa berkebutuhan khusus, termasuk mereka yang tidak mampu membayar. Namun, bukan berarti para guru tidak mendapatkan bayaran saat mengajar. Yono mengungkapkan para guru ini tetap digaji, tetapi ala kadarnya.
ITB
Yono memang sudah memiliki yayasan sendiri, tapi saat ia mengenyam pedidikan hingga S-2 ada satu yang tidak lepas. Kala itu Yono masih menekuni profesinya sebagai tukang tambal ban.
Karena profesi itu, ia mendapatkan julukan rektor ITB. ITB di sini bukan Institut Teknologi Bandung, melainkan Institut Tambal Ban. Bukan berarti ia tidak mau menjadi orang sukses atau pegawai negeri. Ia yakin Tuhan pasti sudah mengatur rezekinya.
"Saya sendiri pengen hidup sempurna seperti orang lain. Jadi pegawai negeri, jadi orang kaya. Tapi tuhan memberikan aku 'nih Yon, ada anak-anak yang mesti kamu urusi, kamu juga mengenal murid seperti ini,' dan izin sama ibu saya dan guru-guru sekolah. Alhamdulillah, rezeki kami mencukupi mau bagaimana pun tuhan pasti memberikan hal yang baik bagi kami," ungkap Yono.
"Kita hidup itu bukan untuk selamanya. Dan saya hidup pun juga hanya sekali. Jadikanlah hidupmu bermanfaat bagi orang lain," tutupnya.
(M-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved