Headline

Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.

Religius dalam Beragama, Rasional dalam Berpolitik

Usman Kansong
21/7/2018 06:40
Religius dalam Beragama, Rasional dalam Berpolitik
(MI/Caksono)

AGAMA itu perkara privat. Politik itu urusan publik. Agama tidak boleh memengaruhi politik. Pun, politik tak layak merecoki agama. Keduanya jangan dicampuradukkan. Agama dan politik terpisah. Tidak ada relasi di antara keduanya. Begitu adagium yang berlaku di dunia Barat sekular.

Akan tetapi, di dunia Islam, agama memegang peran amat penting, baik dalam kehidupan privat maupun publik. Menarik menjelajahi relasi kesalehan, ketaatan, atau religiusitas yang merupakan wilayah privat dan pilihan politik yang bersifat publik.

Lebih menarik lagi menelusuri relasi agama dan politik di Indonesia. Bukan apa-apa, Indonesia negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. Pun, Indonesia negara demokrasi terbesar di kolong langit setelah Amerika Serikat dan India.

Awal pekan ini, diluncurkan dua buku yang membahas hubungan religiusitas dan politik. Buku pertama ditulis Saiful Mujani, William Liddle, dan Kuskridho Ambardi berjudul Voting Behavior in Indonesia Since Democratization: Critical Democrats. Buku kedua, ditulis Thomas Pepinsky bersama William Liddle dan Saiful Mujani bertitel Piety and Public Opinion: Understanding Indonesian Islam.

Perilaku pemilih di Indonesia

Buku Voting Behavior in Indonesia Since Democratization merupakan hasil penelitian perilaku pemilih di Indonesia sejak Pemilu 1999 hingga Pemilu 2014. Diterbitkan pada 2018, buku yang menggunakan metodologi survei ini praktis memerlukan masa 20 tahun dalam penulisannya.

Buku Voting Behavior menunjukkan pemilih di Indonesia cenderung semakin rasional dalam memilih partai politik, kandidat, dan presiden. Mereka menggunakan kalkulasi untung-rugi (cost-benefit calculation).

Mereka memilih tidak berdasarkan alasan-alasan primordial seperti yang selama ini dipersepsi kalangan awam maupun kalangan akademisi. Agama, juga kelompok etnik, dan kelas sosial bukanlah faktor paling penting bagi pemilih dalam memutuskan elite yang diberi mandat memimpin mereka.

Sebagian besar pemilih muslim tidak memilih parpol Islam meski mayoritas pemilih (88%) muslim, total perolehan suara parpol-parpol Islam tidak merefleksikan jumlah mayoritas tersebut. Muslim yang memilih partai Islam semakin sedikit dari pemilu ke pemilu.

Perolehan seluruh parpol Islam mencapai puncaknya di angka 44% pada Pemilu 1955 yang merupakan pemilu demokratis pertama di Indonesia. Pada 2004, total suara perolehan parpol-parpol berbasis massa Islam, yakni PKS, PPP, PKB, dan PAN untuk kursi DPR hanya 30%. PKB dan PAN sesungguhnya bukanlah partai berdasarkan Islam, melainkan berdasarkan Pancasila, tetapi basis massa mereka muslim, yakni berturut Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Bila perolehan suara PKB dan PAN tidak dimasukkan, Islam politik di parlemen yang diwakili PKS dan PPP hanya 13%.

Serupa pemilu legislatif, dalam pemilihan presiden, para pemilih muslim tidak memilih kandidat yang lebih santri seperti Amien Rais, Hamzah Haz, atau Jusuf Kalla.

Mereka justru memilih kandidat presiden yang mungkin mereka anggap kurang santri seperti Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarnoputri, atau Joko Widodo.

Kondisi semakin rasionalnya pemilih muslim dalam pilihan politik tersebut terjadi di tengah semakin taatnya mereka dalam beragama. Mengutip studi antropologis terbaru, buku Voting Behavior memperlihatkan pemilih muslim yang menjadi bagian terbesar pemilih di Indonesia semakin santri ketimbang abangan. Santri ialah muslim taat yang menjalankan kewajiban agama. Abangan ialah muslim nominal yang tak menjalankan kewajiban agama.

Secara kasatmata, semakin taatnya masyarakat muslim bisa dilihat dari semakin banyaknya perempuan berhijab, kian maraknya program agama di televisi, menjamurnya masjid dan ruang salat di kantor pemerintah atau swasta, dan lain-lain.

Buku ini menyimpulkan jumlah pemilih muslim taat meningkat, tetapi dukungan mereka terhadap parpol Islam dan kandidat santri menurun. Kaum muslim semakin religius dalam perilaku sosial tetapi tidak dalam perilaku elektoral. Pemilih muslim cenderung religius dalam beragama, tetapi cenderung sekuler dalam berpolitik. Ini menunjukkan pemilih muslim yang semakin religius dalam beragama itu bisa bertindak rasional dalam berpolitik.

Ketaatan dan demokrasi

Buku Piety and Public Opinion mencoba mencari tahu konsekuensi dari meningkatnya ketaatan kaum muslim di Indonesia yang sedang menjalani proses demokratisasi. Apakah partisipasi dalam politik demokrasi dengan meningkatnya populasi yang semakin religius mengantarkan pada kemenangan kaum islamis pada pemilu?

Apakah semakin taatnya kaum muslim membuat partisipasi mereka dalam politik dan ekonomi berbeda secara fundamen jika dibandingkan dengan sebelumnya? Apakah semakin besarnya perhatian kepada Islam membuat kaum muslim mengevaluasi posisi mereka dalam komunitas global dan membuat mereka mengubah identitas peradaban Islam?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu bisa didapat dengan menguji secara eksperimental apa yang kalangan muslim awam pikirkan dan lakukan. Para penulis buku ini mengambil data opini publik untuk mengeksplorasi bagaimana religiusitas dan keyakinan religius ditranslasikan ke perilaku politik dan ekonomi di tingkat individual.

Dengan menelusuri sejumlah isu, seperti mendukung demokrasi atau hukum Islam, politik partisan, keuangan syariah, dan keterlibatan asing, para penulis buku ini tidak menemukan bukti orientasi keagamaan kaum muslim Indonesia berkorelasi secara sistematis dengan preferensi politik atau perilaku ekonomi mereka.

Buku Piety and Public Opinion dalam konteks lebih luas mendorong para peneliti tentang Islam, di Indonesia dan di mana pun, harus memahami kehidupan beragama dan kesalehan individual sebagai bagian yang lebih luas dan kompleks dari rangkaian transformasi sosial.

Transformasi itu mencakup modernisasi, pembangunan ekonomi, dan globalisasi, yang semuanya berlangsung secara paralel dengan kebangkitan Islam di berbagai belahan dunia.

Berbeda dengan asumsi umum yang mengatakan bahwa kesalehan secara alami cenderung menggerus modernitas, demokrasi, dan kosmopolitanisme, buku ini menemukan relasi yang kompleks antara keyakinan agama dan keyakinan politik dalam negara muslim yang sedang menjalani transisi demokrasi seperti Indonesia.

Pilkada DKI 2017

Kesimpulan umum kedua buku ini ialah pemilih muslim di Indonesia yang semakin taat dalam beragama itu ternyata cenderung rasional dalam berpolitik. Dalam konteks buku Voting Behavior, sebagian besar pemilih muslim yang semakin santri itu lebih memilih parpol-parpol sekuler ketimbang parpol-parpol Islam. Pun mereka cenderung memilih presiden yang kurang santri ketimbang yang lebih santri.

Dalam konteks buku Piety and Public Opinion, tidak ada relasi sistematis antara kesalehan individual dan preferensi politik. Inilah sumbangan akademik sangat berharga dari kedua buku ini.

Buku Voting Behavior dan Piety and Public Opinion bisa dikatakan juga hendak 'mengingatkan' mereka yang bertarung dalam politik bahwa penggunaan isu-isu primordial tidak akan laku, bakal sia-sia, kecuali sekadar menciptakan polarisasi di masyarakat. Gunakanlah isu-isu rasional, misalnya, program perbaikan ekonomi, untuk memenangi pertarungan politik. Inilah sumbangan praktis yang tak kalah berharganya dari kedua buku tersebut.

Akan tetapi, dengan kesimpulan semacam itu, orang segera teringat Pilkada DKI 2017. Di pilkada DKI kaum muslim cenderung memilih gubernur berdasarkan alasan-alasan primordial terutama agama.

Ahok yang menyandang identitas minoritas ganda, yakni Kristen dan Tionghoa, kalah meski tingkat kepuasan terhadap gubernur petahana itu terbilang tinggi. Bila pemilih muslim rasional, cerita pilkada DKI berbeda, Ahok kembali terpilih sebagai gubernur. Penggunaan isu primordial sukses merebut hati suara pemilih muslim untuk memilih gubernur muslim.

Jawaban paling gampang ialah pilkada DKI bisa dikatakan sebuah anomali. Disebut anomali karena di antara kandidat gubernur di Pilkada DKI 2017 ada yang bukan muslim. Dalam tingkat tertentu, yang terjadi di Pilkada DKI 2017 juga terjadi di Pilkada Sumut 2018 karena satu kandidat wakil gubernur bukan muslim.

Buku Voting Behavior meneliti pemilu presiden yang semua kandidatnya muslim. Buku ini membuktikan pemilih muslim tidak memedulikan tingkat kesantrian atau keislaman para kandidat presiden muslim.

Buku Voting Behavior memang hanya membahas pemilu nasional, bukan pemilu lokal, seperti Pilkada DKI 2017. Oleh karena itu, diperlukan penelitian yang lebih spesifik tentang relasi religiusitas kaum muslim dan pilihan politik di Pilkada DKI 2017.

(M-4)

____________________________________________________

Judul: Voting Behavior in Indonesia Since Democratization: Critical Democrat

Penulis: Saiful Mujani, R William Liddle, Kuskridho Ambardi

Penerbit: Cambridge University Press

Terbit: 2018

Tebal: 273 + xvii halaman

Judul: Piety and Public pinion: Understanding Indonesian Islam

Penulis: Thomas B Pepinsky, R William Liddle, Saiful Mujani

Penerbit: Oxford University Press

Terbit: 2018

Tebal: 194 + x halaman



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya