Headline
Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.
Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.
Isu parkir berkaitan dengan lalu lintas dan ketertiban kota.
ANAK-ANAK yang lahir dari orangtua perokok berpotensi stunting dan kekurangan gizi kronis. Pasalnya, paparan asap rokok yang terus-menerus pada ibu hamil berisiko mengalami penyempitan pembuluh darah dan plasenta.
Rokok juga membuat penurunan kadar oksigen dalam darah sehingga anak yang akan dilahirkan memiliki berat badan lahir rendah (BBLR), prematur, bahkan kematian.
Pendapat itu disampaikan Kepala Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Teguh Dartanto dan dokter spesialis anak Bernie Edyarni Medise MPH dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dalam diskusi bertajuk Rokok, Kemiskinan, dan Stunting, di Jakarta, kemarin.
Hadir pula sebagai pembicara pada acara tersebut Kasubdit Kerawanan Sosial Badan Pusat Statistik (BPS) Ahmad Avenzora, juga Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany.
Menurut Teguh, data dekskriptif dari Indonesian Family Life Survei (IFLS) oleh Pusat Kajian Jaminan Sosial UI pada 2007-2014 menunjukkan anak-anak dari orangtua perokok selama bertahun-tahun memiliki berat badan rendah 1,5 kg bila dibandingkan dengan anak-anak dari orangtua bukan perokok.
“Selain itu, anak-anak dari orangtua perokok juga memiliki tinggi badan lebih rendah 0,34 cm jika dibandingkan dengan anak dari keluarga bukan perokok,” jelasnya.
Ia menjelaskan penelitian itu didapat dari pengamatan berat dan tinggi anak berusia kurang dari lima tahun pada 2007-2014 untuk mengetahui dampak perilaku merokok dan konsumsi rokok pada stunting. Penelitian itu juga memperhitungkan faktor genetik (tinggi badan orangtua), faktor lingkungan meliputi pemberian ASI pada masa anak-anak, konsumsi pil anemia pada saat kehamilan ibu, kondisi kemiskinan, dan akses air bersih.
Besarnya konsumsi rokok pada kelompok rumah tangga miskin juga dikuatkan dengan data dari BPS. Menurut Ahmad Avenzora, belanja rokok berada pada posisi kedua setelah beras.
“Rokok berada di atas belanja makanan bergizi. Rumah tangga miskin menghabiskan sekitar 10% dari konsumsi komoditas dasar untuk rokok dan 6,4% dari total pengeluaran untuk belanja rokok,” paparnya.
Pada kesempatan yang sama, Hasbullah mengatakan kebijakan pengendalian cukai rokok dan peringatan kesehatan pada bungkus rokok belum sepenuhnya efektif menurunkan prevalensi perokok.
Menurutnya, Indonesia belum menandatangani Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
Ganggu penyerapan nutrisi
Lebih lanjut, Bernie Edyarni Medise menjelaskan banyak faktor yang dapat membuat anak jadi stunting, di antaranya faktor genetik (30%), juga lingkungan tidak sehat seperti kurangnya akses air bersih dan nutrisi. “Nutrisi merupakan faktor paling berpengaruh penyebab stunting pada anak. Satu batang rokok bisa menganggu penyerapan zat mikronutrien yang dibutuhkan tubuh,” ujarnya.
Selain itu, tambah Bernie, merokok berhubungan dengan gangguan penyerapan vitamin E, B-carotene, zink, dan vitamin B kompleks.
Bernie menuturkan ada pengaruh antara rokok dan penyerapan nutrisi. Anak dari ibu hamil yang merokok atau terpapar asap rokok terus-menerus berisiko 1,15 kali lebih besar mengalami stunting.
“Rokok mengganggu peredaran oksigen yang membawa zat nutrisi dari ibu ke bayi. Apabila hal itu dibiarkan, anak akan mengalami gangguan perkembangan termasuk stunting,” tandasnya. (X-7)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved