Headline
Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.
Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.
Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.
BEBERAPA bulan lalu kabar akan habisnya air bersih di Cape Town, Afrika Selatan, mengagetkan dunia. Meski hingga saat ini pemerintah tampak cukup berhasil memperpanjang masa perkiraan habisnya air dari prediksi pada April lalu, ancaman kekeringan belum sepenuhnya lewat.
Nyatanya, mimpi buruk habisnya air bersih bukan saja mengintai Cape Town. Banyak kota-kota lain di dunia mengalami hal serupa. Penyebabnya beragam, mulai pertambahan populasi penduduk yang diperparah dengan gaya hidup boros air, pencemaran air, hingga perubahan iklim.
Masyarakat belum juga menyadari bahwa jumlah air bersih di bumi sesungguhnya tetap. Artinya, tidak ada penambahan jumlah air, tetapi air hanya mengalami siklus dari atmosfer dan kembali ke bumi. Siklus hidrologi itu terdiri dari kondensasi, presipitasi, evaporasi, dan transpirasi.
Lalu, berapa banyak air bersih yang sesungguhnya ada di Indonesia? Berdasarkan data Perserikatan Bangsa-Bangsa, Indonesia berkontribusi atas 21% dari total keseluruhan air bersih di Asia Pasifik.
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS), rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum layak di Indonesia hanya 65,05% pada 2012. Peningkatan akses terjadi tiap tahun hingga menjadi 72,04% pada 2017.
Oleh karena itu, diperlukan metode jitu untuk mempertahankan kualitas air bersih dan layak minum, sekaligus juga menghindarkan kita dari kekeringan.
"Untuk mempertahankan kuantitas air agar tidak menurun bisa digunakan metode ekohidrologi," terang Direktur Eksekutif Asia Pacific Centre for Ecohydrology (APCE), Dr Ignasius Dwi Atmana Sutapa, MSc.
APCE yang berada di bawah naungan UNESCO fokus pada masalah lingkungan atau ekologi untuk penyediaan air yang berkelanjutan.
Konsep ekohidrologi menyatukan berbagai aspek, di antaranya hidrologi, ekologi, ekoteknologi, dan budaya. Penyatuan itu bertujuan memberikan kualitas sumber daya air yang terbaik untuk masyarakat. Komponen dalam ekohidrologi memiliki peran masing-masing. Prinsip ekologi ialah peningkatan kapasitas penyerapan dari ekosistem.
Prinsip hidrologi menjadi kerangka kerja untuk proses kuantifikasi massa air. Prinsip ekoteknologi terkait penggunaan properti ekosistem yakni sebagai alat tata kelola manajemen air. Terakhir ialah prinsip budaya untuk meningkatkan hubungan yang dinamis antara sistem hidrologi, sosial, dan ekologi.
Percontohan
Salah satu kawasan percontohan yang bisa menjadi rujukan konsep ekohidrologi ialah Waduk Saguling yang berada dalam daerah aliran sungai (DAS) Citarum. Waduk tersebut juga mendapati masalah yang sama seperti Sungai Citarum yakni pencemaran.
"Kawasan itu (Waduk Saguling) sumber pencemarannya dari home industry dan pertanian," terus Ignasius yang juga peneliti Pusat Penelitian Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Dr Rachmat Fajar Lubis, mengatakan teknologi untuk mendukung ekohidrologi berbeda penerapannya pada setiap wilayah sebab tiap-tiap wilayah mempunyai karakteristik dan kebutuhan yang berbeda.
"Dia (teknologi) disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing wilayah. Tapi konsep yang paling utama dia harus integrasi antara semua disiplin ilmu. Jadi, teknologi yang secara fisik maupun biologi," terang Rachmat.
Ekoteknologi yang diterapkan pada Waduk Saguling menggunakan phytotechnology, yakni sistem kolam terdiri dari 3 seri kolam. Setiap seri berisi 1 kolam pengumpul, 4 kolam fitoremediasi, dan 2 kolam penyangga.
Teknologi tersebut bertujuan mengoptimalkan sumber air yang ada di wilayah Waduk Saguling, agar bisa layak sebagai air baku.
Menurut Rachmat, permasalahan sumber daya air bisa dibagi menjadi 2 kategori, yakni kualitas dan kuantitas. Keduanya mempunyai pendekatan berbeda. Kualitas bisa dilakukan pendekatan fisik, seperti mengukur permukaan air, curah hujan, ataupun mengukur debit. Pendekatan kualitas bisa dilakukan secara vegetatif yang menggunakan vegetasi sebagai filtering dan kimiawi yang menggunakan bahan kimia yang tidak berbahaya untuk pengolahan airnya.
"Kalau kualitas pendekatan yang ideal sebenarnya kimia. Hanya kimia di kita, kan, mungkin masih mahal, karena mungkin ada dampak yang lain dari kimia. Karena penambahan zat baru di alam juga satu masalah tersendiri, maka kita usulkan dengan biologis. Jadi, pendekatan binatang-binatang yang dipakai," tambah Rachmat.
Pendekatan itu juga dipakai untuk menguji kualitas air. Pengujian itu bisa memakai pendekatan kimiawi ataupun biologis.
"Indikatornya biologis lagi. Jadi, digunakan ikan sebagai indikator. Kalau ikan bisa hidup dengan baik, berarti harusnya tanaman yang lain pun bisa hidup di situ," tandasnya.
Meski demikian, diakui Rachmat bahwa teknologi yang digunakan dalam ekohidrologi bukan sesuatu yang baru. Sebaliknya, kebaruan terletak pada konsep ekohidrologi yang memadukan empat prinsip.
"Yang baru itu konsepnya. Kalau teknologi sebenarnya banyak. Cuma bagaimana konsep ini bisa bersatu dengan alam lokal," terangnya.
Kelokalan sangat diperhatikan dalam pengelolaan air berdasarkan ekohidrologi. Konsep tersebut bertumpu pada masyarakat sebagai pengelola sumber daya air. Oleh karena itu, pendekatan ekohidrologi menggunakan pendekatan berdasar kearifan lokal.
"Teknologi nasional, tapi implementasinya dengan memahami budaya lokal," tambah Rachmat.
Sebagai contoh kawasan percontohan Saguling menggunakan ikan tawar darat sebagai indikator air. Hal itu disengaja dengan memperhatikan kearifan lokal masyarakat sunda.
"Misalnya kayak masyarakat Jabar itu budaya perikanan tawar daratnya kuat. Jadi, kan, senang memancing, senang bikin karamba. Jadi, kalau kita menggunakan ikan sebagai indikator mereka senang," tegas Rachmat.
Ekohidrologi di Waduk Saguling benar-benar disesuaikan dengan budaya Sunda. Jadi, kalau teknologinya diterapkan di Jateng, Bali, atau Jatim, akan beda modelnya.
Soal kualitas air, Rachmat berpegang pada standar kelayakan air yang ditetapkan pemerintah. Salah satunya yang dimuat dalam Permenkes 492 Tahun 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum. Meski demikian, sering terdapat perbedaan standar kelayakan air antara masyarakat dan para peneliti. Itulah sebabnya proses edukasi dengan basis budaya menjadi sangat penting.
"Ini yang menarik. Jadi, meskipun menurut kita layak, bisa jadi menurut masyarakat itu sudah tidak layak. Begitu pun sebaliknya," pungkas Rachmat.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved