Kementerian LHK Siapkan Payung Hukum Teknologi Pantau Emisi
Antara
19/3/2015 00:00
(MI/Angga Yuniar)
KEMENTERIAN Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mempersiapkan payung hukum pemanfaatan teknologi pemantauan emisi industri dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Perlindungan dan Pengelolaan Kualitas Udara atau Peraturan Menteri (Permen) khususnya bagi industri.
"Melihat kebutuhan untuk industri migas (payung hukum) bisa di RPP Perlindungan dan Pengelolaan Kualitas Udara, kalau mendesak ya dalam bentuk Permen," kata Asisten Deputi Pengendalian Pencemaran Pertambangan Energi dan Migas KLHK Sigit Reliantoro usai Focus Group Discussion (FGD) Penggunaan Teknologi Predictive Emission Monitoring System (PEMs) di Jakarta, Rabu (18/3).
Teknologi pemantau emisi yang dapat digunakan yakni Predictive Emission Monitoring (PEMs) yang dapat menjadi komplimen dari sistem Continuous Emissions Monitoring (CEMS) untuk memonitor emisi Sulfur dioksida (SO2) dan Nitrogen oksida (NOx).
Sedangkan CEMS, ia mengatakan memonitor emisi secara aktual karena sensor-sensor ditempatkan di cerobong-cerobong industri.
Namun, ia mengatakan penggunaan sistem CEMS hanya digunakan memonitor baku mutu tidak bergerak seperti pada pembangkit listrik dengan kapasitas di atas 25 Mega Watt (MW). "Instalasi migas di bawah 25 MW belum gunakan ini," katanya.
Untuk Standar Nasional Indonesia (SNI), ia mengatakan akan diterapkan untuk Quality Assurance (QA) dan Quality Control (CO) dalam penggunaan teknologi pemantauan emisi tersebut. "Tapi SNI-nya juga belum ada," ujarnya.
Sektor migas, industri semen, PLTU sudah seharusnya memasang teknologi pemantauan emisi. Selain itu, industri gula dan sawit, menurut Sigit, sebenarnya sudah memenuhi syarat untuk memasang CEMS.
"Emisi lebih rendah di industri gula dan sawit sebenarnya sudah 'comply' pasang CEMS. Tapi yang jadi masalah, belum kebayang pasangnya seperti apa," ujar dia.
Peneliti pada Manajemen Monitoring Udara dan Limbah ITB Haryo Tomo mengatakan perlu ada regulasi terkait standar emisi, SNI yang progresif terhadap perkembangan teknologi pemantauan emisi, dan standar verifikasi PEMs yang memang harus didiskusikan lebih lanjut.
PEMs, menurut dia, bukan bentuk Real Emission Monitoring, sehingga tidak dapat dibandingkan secara 'apple to apple' dengan CEMS. Ada perlu pengaturan bagaimana pendekatan monitoring emisi dengan PEMs menjadi alternatif CEMS.
Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup Bidang Hukum dan Hubungan Antar Lembaga KLHK Tuti Hendrawati Mintarsih mengatakan dengan pemantauan emisi dapat diketahui jumlah zat berbahaya yang dipancarkan ke udara dan juga untuk meningkatkan kepatuhan industri untuk standar baku emisi.
Karena itu, lanjutnya, pemantauan emisi menjadi salah satu penanggulangan yang harus dilakukan secara terus menerus dengan kontrol dan jnan kualitas yang tepat. (Ant/H-2)