Headline
Sebaiknya negara mengurus harga barang dulu.
MENGIDAP asma pernah membuat Rifki, 22, kerepotan. Pasalnya, beberapa hal yang kesannya sepele bisa memicu kekambuhan penyakitnya tersebut.
"Saya kena asma dari kecil. Kalau kecapekan, kena udara dingin, minum es, pilek, bahkan ketawa terpingkal-pingkal bisa bikin kambuh, bikin
sesak napas yang sangat mengganggu," tutur mahasiswa tersebut.
Seiring bertambahnya pengetahuan dirinya, sedapat mungkin ia menghindari hal-hal yang bisa memicu kekambuhan. Kalaupun asmanya kambuh, Rifki punya cara jitu untuk mengatasinya, yakni minum air hangat dan menghirup uapnya, lalu istirahat total, sebisa mungkin tidur.
"Beda waktu kecil dulu, tiap kali kambuh harus ke dokter dan pakai obat-obatan," katanya.
Kini, meski asmanya lebih terkendali, Rifki sangat berharap suatu saat bisa benar-benar terbebas dari penyakit itu. "Macam-macam resep yang saya dengar, dari rutin minum habbatussauda sampai ada yang bilang harus makan daging kelelawar. Sebagian resep sudah pernah saya coba, tapi tetap saja masih suka kambuh. Memang benar kata dokter, yang terbaik itu hindari pemicu kekambuhan," pungkasnya.
Dokter spesialis paru Wiwien Heru Wiyono menjelaskan asma merupakan penyakit saluran pernapasan kronis dengan gejala bervariasi. Yang ringan umumnya dada terasa berat dan batuk. Yang lebih berat berupa sesak napas dan mengi atau suara napas seperti siulan putus-putus.
"Kejadian asma bersifat episodik, bisa hilang dan muncul secara spontan ataupun dengan pengobatan. Kalau masih ringan asmanya, didiamkan sebentar dengan sendirinya bisa stabil lagi. Tapi kalau berat, harus dengan bantuan obat," jelas guru besar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu pada peringatan Hari Asma Sedunia di Kantor Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Jakarta, Senin (30/04).
Ketika kambuh, lanjutnya, saluran napas penderita mengalami penyempitan. Selain itu, peradangan yang terjadi membuat produksi lendir lebih banyak dari sebelumnya. Lendir itu semakin mempersempit saluran napas.
Jika tidak ditangani dengan segera, penderita asma bisa kekurangan oksigen yang dapat menyebabkan kematian. "Dulu waktu saya masih kuliah, saat jaga IGD, sering ketemu kasus pasien asma datang dengan kondisi sudah mati lemas karena saluran napasnya tertutup," kata Wiwien.
Wiwien menambahkan, setiap orang, laki-laki maupun perempuan, anak-anak maupun dewasa, dapat terkena asma. Seseorang yang memiliki faktor genetik asma cenderung akan mengalami serangan asma apabila terpapar oleh faktor-faktor pencetus tersebut. Namun, faktor pencetus tersebut bisa berbeda-beda antara penderita yang satu dan lainnya.
"Mungkin saja waktu kecil orang itu tidak terpapar sehingga asma baru muncul ketika remaja, dewasa, atau bahkan ketika tua saat mereka terpapar oleh faktor pencetus," tutur Wiwien.
Kendalikan
Wiwien mengingatkan, asma belum bisa disembuhkan, tetapi dapat dikontrol sehingga kekambuhan bisa dicegah dan dikurangi. Penderita pun bisa tetap produktif.
Profesor di bidang paru itu menjelaskan bahwa ada beberapa langkah untuk mengontrol asma. Pertama, mengenali faktor pencetus untuk sebisa mungkin dihindari, mengenali gejala agar ketika kambuh bisa segera melakukan pengobatan, serta selalu berkonsultasi dengan dokter untuk pengobatan jangka panjang.
"Selama ini umumnya masyarakat hanya tahu penanganan asma dengan inhaler (spray obat asma), tetapi sebenarnya perlu ada obat lain untuk menunjang pengobatan asma."
Terakhir, Wiwien menekankan, penderita asma harus selalu menjaga kebugaran karena kondisi yang tidak bugar dapat membuat seseorang lebih mudah mengalami kekambuhan. Caranya antara lain dengan melakukan senam yang sudah dirancang untuk penderita asma (senam asma).
"Dengan pemahaman yang tentang asma, penanganan juga dapat dilakukan dengan benar dan diharapkan penderita asma bisa mengontrol asmanya dan kualitas hidupnya lebih baik," tutup Wiwien.
Program JKN
Pada kesempatan sama, Ketua Umum PB PDPI dr Agus Dwi Susanto SpP(K) mengatakan penanganan asma di Indonesia, meski masuk program JKN, masih menghadapi beberapa tantangan, antara lain fasilitas diagnosis asma baru ada di fasilitas layanan kesehatan tingkat sekunder (rumah sakit).
"Di beberapa puskesmas sudah ada, tapi belum merata di seluruh Indonesia. Ke depan sebaiknya ada di tingkat puskesmas sehingga bisa lebih awal dideteksi dan diobati," terang Agus.
Kedua, lanjutnya, obat untuk mengontrol serangan asma juga hanya tersedia di rumah sakit. "Diharapkan, obat pengontrol asma tingkat pertama ada di layanan primer (puskesmas)," katanya.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved