Headline

Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.

Fokus

Isu parkir berkaitan dengan lalu lintas dan ketertiban kota.

JKN masih Butuh Gizi Baik

Ghani Nurcahyadi
07/4/2018 15:20
JKN masih Butuh Gizi Baik
(ANTARA/SYAIFUL ARIF)

HARI Kesehatan Sedunia hari ini diperingati. Terkait dengan Hari Kesehatan Sedunia, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengusung tema #Healthforall. Artinya, seluruh pendududuk dunia harus bisa mengakses layanan kesehatan tanpa kesulitan apa pun.

Hal itu pun berlaku di Indonesia. Kebutuhan dasar atas layanan kesehatan nasional yang memadai dan layak menjadi kewajiban yang harus disiapkan pemerintah, terutama sejak Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional diberlakukan.

Data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menyebutkan hingga 1 April 2018 jumlah peserta JKN-KIS mencapai 195.170.283 peserta.

Guru Besar Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany, mengungkapkan saat ini JKN masih mengalami sejumlah kendala yang membuat sistem tersebut justru berasa kurang 'gizi' dan butuh di-'opname'. Permasalahan terbesar yang dihadapi saat ini ialah soal pendanaan untuk BPJS Kesehatan.

Permasalahan tersebut membuat BPJS Kesehatan harus menanggung defisit yang besar akibat klaim yang diajukan lebih besar jika dibandingkan dengan iuran peserta BPJS. Besaran iuran pun menurut Hasbullah sudah seharusnya dinaikkan demi menjaga kondisi keuangan BPJS Kesehatan sebagai penerima dana jaminan sosial (DJS) bisa ikutan 'sehat'.

"Kondisi sekarang kan jadi seperti 'kurang darah', makanya perlu dilakukan terobosan soal pendanaan ini. Pemerintah menyubsidi atau menaikkan iuran. Soal iuran ini kan pemerintah menggunakan pendekatan politik, bukan pendekatan ekonomi. Di sisi lain, subsidi sebaiknya juga dipertimbangkan karena lebih baik subsidi di bidang kesehatan yang memang dijamin UU dibanding subsidi lainnya," kata Hasbullah kepada Media Indonesia, kemarin.

Besarnya iuran yang tetap yang tidak sebanding dengan kenaikan biaya layanan kesehatan juga ikut membuat pembayaran pribadi (out of pocket/OOP) dari peserta asuransi kesehatan BPJS tetap tinggi. Hitungan Hasbullah yang juga peneliti di Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan FKM UI menunjukkan OOP masih berada di kisaran 47% atau setengah dari biaya berobat. "Idealnya kan memang OOP itu 20%. Tapi di sini sudah sejak 20 tahun lalu angkanya tetap sama saja. Karenanya di Hari Kesehatan Dunia yang jatuh pada 7 April ini, tema Universal health coverage (UHC) sangat relevan dengan kondisi saat ini di Indonesia agar seluruh masyarakat bisa terkover oleh jaminan kesehatan," ujar Hasbullah.

Belum faham

Direktur Perluasan dan Pelayanan Peserta BPJS Kesehatan Andayani Budi Lestari menyatakan bahwa sejatinya negara hadir untuk melindungi dan menjamin kesehatan masyarakat melalui program JKN-KIS. Kendati dalam perjalanannya, tidak lepas dari kendala yang mungkin masih peru dihadapi hingga kini.

Misalnya, secara teknis, belum semua masyarakat memahami prosedur pelayanan kesehatan yang harus melalui fasilitas kesehatan (faskes) tingkat 1 terlebih dahulu sebelum dibawa langsung ke rumah sakit, atau sebaliknya kesadaran masyarakat yang semakin meningkat untuk datang berobat juga tak dimungkiri berdampak pada besaran jumlah biaya.

Sebut saja biaya yang dihabiskan untuk penyakit katastropik hingga 2017 telah mencapai Rp18,4 triliun atau 25,7% dari total biaya pelayanan kesehatan di tingkat lanjutan. Penyakit katastropik itu, seperti jantung, kanker, gagal ginjal, struk, dan lain-lain. "Karena itu, kami terus melakukan sosialisasi sebagai bentuk dari upaya promotif preventif. Karena pada dasarnya, penyakit katastropik itu bermula dari perilaku yang harus diperbaiki," ungkapnya.

Pada kesempatan terpisah, Sekjen Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia, Ichsan Hanafi, juga menjelaskan permasalahan terbesar yang dialami JKN memang soal pembiayaan. Ia pun menuntut pemerintah untuk lebih peduli lagi soal pembiayaan tersebut karena banyak rumah sakit swasta, khususnya skala menengah ke bawah yang bergantung pada BPJS Kesehatan.

Pemerintah, lanjutnya, bisa saja menginisiasikan agar BPJS bisa bekerja sama penyedia asuransi lain, khususnya bagi pasien kalangan menengah ke atas. Dengan demikian, klaim yang harus dilunasi BPJS Kesehatan bisa berkurang dan menekan defisit pembiayaan.

Di lain pihak, Kepala Humas BPJS Kesehatan, Nopi Hidayat, mengungkapkan dari total 195.170.283 peserta JKN-KIS, indeks kepuasan peserta sebesar 79,5% atau hampir mencapai target 85% pada 2019. Begitupun indeks kepuasan fasilitas kesehatan (faskes) sudah 75,5% dari 80% pada 2019.

Itu berarti program JKN-KIS telah diterima dengan baik masyarakat. Sesuai tujuan yang termaktub dalam UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, yakni agar masyarakat terlindungi secara finansial saat mengakses layanan kesehatan. (Mut/S-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya