Headline

DPR klaim proses penjaringan calon tunggal hakim MK usulan dewan dilakukan transparan.

Kekerasan Seksual Alarm bagi Negara

Indriyani Astuti
27/3/2018 03:00
Kekerasan Seksual Alarm bagi Negara
(ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)

PEREMPUAN dianggap lebih rentan mengalami kekerasan seksual ketimbang laki-laki. Oleh karena itu, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dianggap menjadi jawaban atas persoalan dan hambatan akses keadilan yang dialami perempuan.

"RUU Penghapusan Kekerasan Seksual justru melengkapi kekurangan atau kekosongan pasal dalam KUHP yang hanya memaknai kekerasan seksual sebagai hal yang hanya menyangkut kesusilaan (kesopansantunan, norma, dan nilai masyarakat)," tutur komisioner Komnas Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Mariana Amiruddin di Jakarta, kemarin.

Mariana menjelaskan lebih jauh bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah wilayah khusus yang dampaknya hanya dialami perempuan karena kondisi kodratnya yang sering tidak terwakili dan tidak tersuarakan, terutama dalam hal seksualitas, reproduksi biologis, sosial, dan budaya. Banyaknya persoalan kekerasan seksual yang dialami perempuan, tutur dia, menjadi alarm bagi negara untuk segera melakukan penghapusan kekerasan seksual.

Komnas Perempuan, tutur Mariana, sangat mendukung disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Komnas, ucapnya, juga ingin agar RUU itu dapat dipahami dan dimengerti secara menyeluruh dan mendalam, dan terhindar dari miskonsepsi.

Semangat yang diusung dalam RUU itu terkesan diskriminatif karena lebih dominan melindungi perempuan dari kekerasan seksual, padahal salah satu asas pengaturannya ialah nondiskriminasi.

Dijelaskan Mariana, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak mengutamakan perempuan dan mengabaikan laki-laki. Menurutnya, RUU justru senapas dengan semangat negara dalam menerapkan pengarusutamaan gender sebagaimana diatur dalam Instruksi Presiden RI No 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional, yang menjadi salah satu kebijakan yang sangat penting untuk mewujudkan tujuan pembangunan tersebut.

"Adanya pengarusutamaan gender dimaksudkan untuk memudahkan negara melakukan analisis gender termasuk kekerasan terhadap perempuan," ucapnya.

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual juga merujuk pada prinsip nondiskriminasi. Nondiskriminasi yang dia maksud ialah perempuan merupakan warga negara Indonesia yang berhak mendapatkan keadilan dan perlindungan atas kehidupannya di masyarakat yang lebih rentan mengalami kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan bahkan tidak melihat kelas sosial, suku, usia, atau pendidikan perempuan, semua berisiko menjadi korban.

Mispersepsi

Komnas Perempuan, ujar Mariana, mengapresiasi makalah yang disampaikan Prof Dr Euis Sunarti berjudul Urgensi Pengaturan Kekerasan Seksual, Akar Masalah, dan Alternatif Solusinya dalam rangka membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dalam rapat dengar pendapat umum yang diselenggarakan Komisi VIII beberapa waktu lalu. Akan tetapi, Komnas menginginkan agar tidak ada miskonsepsi mengenai RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Konteks kekerasan, sambung Mariana, tidak dapat disandingkan dengan konteks norma dan nilai. Pengertian 'kekerasan' adalah maknanya lebih pada tindakan (pemaksaan, intimidasi, kekuatan emosi yang tidak menyenangkan dan merusak seseorang. Adapun kata 'perilaku' lebih relevan dalam aspek norma atau nilai-nilai masyarakat, dan biasanya lebih pada wilayah atau aspek pendidikan atau imbauan moral melalui ruang-ruang sosial dan budaya.

(H-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya