Headline

Disiplin tidak dibangun dengan intimidasi.

Berjuang dengan Anak Lintang

Sumaryanto Bronto
24/3/2018 11:50
Berjuang dengan Anak Lintang
Yuliati Umrah(MI/Sumaryanto Bronto)

PERLAKUAN kasar, baik fisik maupun verbal yang diterima Yuliati Umrah saat kecil masih berbekas di ingatannya. Pengalamannya itu menginspirasinya untuk membantu para anak jalanan selama 20 tahun terakhir.

Perkenalan perempuan asal Surabaya itu dengan jalanan berawal dari aksi demonstrasi 1997-1998. Kala itu ia masih menjadi mahasiswa Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, saat de­monstra­si sejumlah anak jalanan menghampirinya. Mereka protes dagangan koran mereka tidak laku karena demo. Entah apakah itu  benar atau tidak, mereka meminta jatah nasi bungkus untuk para demonstran. Ada satu kalimat yang membuat Yuli merenung. “Mbak, sampean itu berjuang opo? Wong berjuang dengan demo malah membuat dagangan saya ndak laku”.

Masalah anak jalanan tidak selesai selepas Soeharto lengser. “Mereka tetap miskin dan jadi anak jalanan. Makanya, begitu demo usai, bahkan selepas saya lulus dari Unair, saya tetap bersama mereka,” ujar Yuli.

Pascareformasi anak jalanan belum sejahtera dan lepas dari penindasan. Ia pun memutuskan menggelandang bersama mereka. Keputusannya pun menimbulkan masalah baru. Ia pernah dipaksa pulang oleh pamannya yang melihatnya di jalanan.

“Saya masih ingat kata-katanya, ‘ayo pulang, memalukan saja’. Tetapi saya tidak mau karena sudah telanjur masuk ke dunia anak-anak jalanan,” ungkap Yuli mengingat masa sulit itu. Padahal, kala itu ayahnya meminta Yuli melanjutkan kuliah di Michigan, USA.

Pada 22 April 1999, Yuli bersama anak-anak jalanan menemukan rumah kosong yang tidak terurus. Rumah itu menjadi tempat mereka berteduh. Saat malam mereka menyalakan lilin untuk mengusir gelap. Di sanalah mereka berinteraksi dan membuat organisasi bernama Anak Lintang atau Alit.

Saya juga sering berdemo di jalanan bersama mereka memperjuangkan hak-hak bagi anak jalanan. Pada tahun itu, 1998, belum banyak orang yang berteriak mengenai hak anak karena kebanyakan masih dalam euforia reformasi. Di tahun itu, Yuli bersama anak-anak jalanan menggelar aksi tentang kekerasan terhadap anak-anak jalanan. Namun, aksi mereka tidak dilirik media lokal, nasional, atau internasional.

“Setelah demo tersebut, ada beberapa jurnalis dari BBC London, AFP, dan AP. Mereka mencari saya dan ingin wawancara mengenai kondisi anak-anak jalanan karena ternyata masalah anak waktu itu belum tersentuh, jelas Yuli.

Konsultan
Begitu muncul pemberitaan, lembaga internasional seperti WHO dan Aus AID mencari Yuli untuk mendapatkan informasi kondisi anak jalanan, terkait dengan penggunaan narkoba jenis suntik. “Mereka meminta saya menjadi konsultan menangani anak-anak jalanan terkait berbagai masalah yang ada. Berbagai advokasi kepada anak-anak jalanan saya lakukan, sampai-sampai ada preman yang menyatakan kalau saya ialah ‘ratunya wong kere’,” kata Yuli seraya tertawa.

Dua tahun menjadi konsultan, Yuli berhasil mendapatkan rumah kontrakan untuk markas Yayasan Alit. Yuli mengajarkan kerajin­an tangan untuk meningkatkan ekonomi mereka sehingga mereka bisa mandiri.

Mereka membuat kertas daur ulang dari pohon pisang. Kertas yang dihasilkan bisa digunakan sebagai tisu dan album foto. Setelah melihat respons pasarnya bagus, Yayasan Alit mulai membuat pameran dan mendapatkan penghargaan dari bank di Singapura.

“Ada uang Rp35 juta yang diperoleh dan dapat meningkatkan modal usaha,” kata Yuli. Sejak itu mereka mulai kebanjiran pesanan dari Singapura, Jepang, dan Australia. Selain itu, mereka juga memiliki situs dan kios Alit Craft di Royal Plaza Surabaya. “Sehingga produk-produk yang dihasilkan Yayasan Alit juga kian mendapat pasar,” ujarnya.

Tidak semata membantu anak-anak di Surabaya. Bermodalkan pengalamannya, ia merambah ke Flores, NTT, dan lereng Gunung Bromo di Pasuruan dengan budi daya bunga lili. Terakhir di Depok, Jawa Barat, mereka membuat sekolah kewirausahaan.

Kini, sudah lebih dari 800 anak jalanan yang didampingi Yayasan Alit. Tidak saja dalam bidang kewirausahaan, ada juga olahraga. Bagi Yuli, tidak pernah tebersit untuk menghentikan apa yang telah dilakukannya karena hal itu menjadi panggilan hidupnya di dunia.

Sahabat
Meski masa lalunya kelam, Yuli berjuang keras untuk tidak melakukan kekerasan kepada anak-anaknya, Slamet Santoso, Mohamad Ranau, maupun Mohamad Ranah. Demikian pula dengan anak-anak jalanan yang lain.

Ia memperlakukan keketiga anaknya bak sahabat. Ketiganya sering curhat kepada Yuli dan terlibat di Yayasan Alit.

Suaminya merupakan aktivis yang bekerja di bidang pertanian. Selain aktif di LSM, suaminya juga memiliki pekerjaan sesuai profesi­nya. Jadi, bila di proyek tujuan bekerjanya untuk mencari uang, sedangkan bagian sosialnya ketika terjun di LSM. Pada Mei 2018, Yuli akan menjadi pembicara pada pertemuan umat Katolik se-dunia di Jerman. Ia menjadi satu-satunya pembicara yang beragama Islam yang akan berbicara tentang hak anak-anak. 

Yuli, tidak hanya mendorong anak-anak jalanan untuk memulai hidup mandiri dengan keterampilan yang mereka miliki. Ia juga mengadvokasi mereka dalam persoalan. Pendampingan itu meng­antarkannya berkenalan dengan Kapolri Jenderal Sutarman, yang kala itu menjabat sebagai Kapolwiltabes Surabaya. Sutarman saat itu membuat ruang penyidikan dan tahanan khusus anak. “Itu sekitar tahun 2005 lalu. Tahanan khusus anak itu penting sebagai bagian dari komitmen kepolisian untuk mengakomodasi hak-hak anak sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Anak,” ujar Yuli.

Tidak hanya itu, ada 600 penyi­dik di wilayah Polwiltabes Surabaya yang mengikuti pelatihan mengenai penanganan anak-anak bermasalah. “Karena sangat berbeda penanganan terhadap anak dengan orang dewasa. Dasar penanganan yang digunakan salah satunya ialah konvensi mengenai hak-hak anak,” katanya. (*/M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya