Headline

Disiplin tidak dibangun dengan intimidasi.

Pulihkan kembali Brantas

Sumaryanto Bronto
24/3/2018 11:40
Pulihkan kembali Brantas
Prigi Arisandi, aktivis lingkungan dan sarjana biologi dari Universitas Airlangga Surabaya.(MI/Sumaryanto Bronto)

TERIK yang menyengat tak menghalangi sejumlah aktivis lingkungan me­nyu­suri Sungai Brantas. Mereka mengenakan pakaian anti­radiasi serbaputih, bermas­ker, bersarung tangan, dan bersepatu bot, sambil membawa garu, jaring, tongkat pengait, dan tempat sampah. Para aktivis itu memungut sampah popok bayi yang tersangkut dan mengambang.

“Tingkat pencemaran air Sungai Brantas sudah mengkhawatirkan. Bahkan, pencemaran air di sungai terbesar dan terpanjang di Jawa Timur ini membuat ikan mulai mengalami kepunahan dan kelainan interseksual atau menjadi ikan banci. Salah satu pemicu kepunahan dan kelainan interseksual karena tingginya kandungan bahan organik dalam air sungai akibat pencemaran popok bayi,” ujar Prigi Arisandi, aktivis lingkungan dan sarjana biologi dari Universitas Airlangga Surabaya.

Pada 1996, Prigi mendirikan Ecological Observation and Wetlands Conversation (Ecoton), lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan dan lembaga penelitian lingkungan hidup independen. Empat tahun kemudian LSM itu berbadan hukum dan bertujuan memperjuangkan hak-hak warga untuk menikmati kualitas air su­ngai yang baik.

Ecoton melakukan penelitian untuk mengungkapkan potensi keanekaragaman hayati dan ancaman kerusakan dan sumber pencemaran di Kali Surabaya dan Kali Brantas. Tak hanya itu, Ecoton membuat program Detektif Kali Brantas bagi anak-anak dan pelajar sepanjang Kali Brantas (Batu, Malang, Sidoarjo, Surabaya, dan Mojokerto). Program itu mengajak anak-anak mengamati Sungai Brantas dan memperkenalkan biodiversitas, fungsi, dan ancaman yang terjadi di sungai sehingga mereka peduli dan berupaya menyelamatkan sungai dari kerusakan.

Tidak sebatas anak-anak, masyarakat juga dilibatkan melestarikan dan memulihkan ekosistem. Di antaranya kajian ilmiah dengan metode partisipatif, pendidikan remaja, dan sekolah untuk menjadi bagian dari solusi lingkungan, melahirkan komunitas-komunitas masyarakat yang menjadi pelindung dan pelestari sungai dan sumber-sumber air dan mendo­rong perubahan kebijakan agar pro terhadap pengelolaan ekosistem sungai yang berkeadilan antargenerasi.

Keterlibatan anak bukan tanpa alasan. Pasalnya 63% anak di tepi Kali Brantas didiagnosis terkena kanker. Sebanyak 80% anak di pesisir Kenjeran mengalami gejala slow learner.

Popok
Semua pencemaran itu tidak hanya berasal dari rumah tangga. Pada 2008 banyak pabrik yang membuang langsung limbah mereka ke kali yang menjadi sumber utama bahan baku air minum bagi PDAM Kota Surabaya. Karena banyak aksi yang dilakukan Ecoton, kini pabrik umumnya sudah membangun instalasi pembuang­an air limbah (IPAL) dan tak lagi membuang langsung limbah cair ke Kali Surabaya.

Sekarang Ecoton fokus menyadarkan warga agar tidak menjadikan sungai sebagai tempat sampah. Dalam kajian Ecoton, setidaknya ada 3 juta popok bekas setiap hari. Popok dengan feses yang mengandung bakteri E coli mengendap di sungai yang digunakan minimal 6 juta warga. Menurut Prigi, salah satu pemicu perilaku itu ialah kepercayaan bahwa membakar popok bekas akan berakibat merahnya kulit di pangkal paha dan pantat bayi seperti luka terbakar, atau populer disebut suleten.

“Limbah popok yang 50% bahannya terbuat dari plastik baru akan terurai 300 tahun. Akibat pencemaran limbah popok ini, ekosistem sungai menjadi terganggu seperti keberadaan ikan yang mulai langka. Kami ingin pemerintah pusat mendengar. Sungai ini sungai nasional, 45% penduduk Jawa Timur tinggal di daerah aliran Sungai Brantas. Kami ingin Brantas juga jadi prioritas, enggak hanya Citarum,” ujar Prigi.

Karena itu, Ecoton membentuk Brigade Evakuasi Popok (BEP). Mereka mulai memungut sampah popok sejak Juli 2017. Dari tujuh kota yang diselusuri BEP, popok bayi mencapai 37% dari keseluruhan sampah yang mencemari sungai. Temuan itu sudah dilaporkan kepada Dinas Lingkung­an Hidup di setiap daerah yang disinggahi.

Sementara itu, sampah popok dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA). Namun, Prigi berharap agar pemerintah memberi solusi konkret, semisal menyediakan drop-box khusus sampah popok bayi sampai ke pelosok-pelosok daerah. Di samping itu, dia memandang sanitary landfill di TPA-TPA di Jawa Timur untuk pengelolaan sampah popok bayi wajib dibangun.

Kerja kerasnya sejak awal 2000-an berbuah hasil saat dunia internasional menghargainya dengan Goldman Environmental Prize Award 2011. Penghargaan bagi pahlawan lingkungan dari Amerika Serikat itu juga diperuntukkan orang-orang yang berjuang demi lingkungan di tingkat akar rumput. Penghargaan yang memberi hadiah sebesar US$150 ribu bagi pemenang itu digunakan Prigi Arisandi untuk terus mengembangkan pergerakannya menyelamatkan kali dan kualitas air di Surabaya. Sebelumnya pada 2006, Prigi menerima penghargaan Ashoka. Pada 2012 ia menerima penghargaan Gaia dari Korea. Pada 2013 Ecoton mendapat penghargaan Kalpataru. (M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya