Headline
DPR klaim proses penjaringan calon tunggal hakim MK usulan dewan dilakukan transparan.
DPR klaim proses penjaringan calon tunggal hakim MK usulan dewan dilakukan transparan.
PAPARAN informasi secara daring di media sosial ataupun media massa ternyata berpengaruh besar terhadap intoleransi di Indonesia.
Hal itu terkuak dalam hasil riset Maarif Institute yang melibatkan sekitar 800 pelajar SMA di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Semarang. “Paparan internet menjadi faktor dominan yang menyebabkan sikap intoleran atau sekitar 63%,” kata Direktur Maarif Institute Khelmy Pribadi dalam diskusi hasil riset Sikap dan Perilaku Pelajar Terkait Intoleransi di Indonesia, di Jakarta, kemarin.
Khelmy mengatakan media sosial saat ini membuat orang lebih mudah terpapar oleh informasi berkonten negatif. Mekanisme verifikasi data dan berita tidak dilakukan sehingga orang tidak dapat membedakan informasi benar dan salah.
“Problem berikutnya ialah intoleransi, pikiran negatif, kemudian ujaran kebencian. Karena terprovokasi oleh informasi yang tidak jelas, sudah melakukan aksi online maupun offline,” ujarnya.
Solusi menghadirkan narasi alternatif berupa konten positif menjadi cara efektif melawan ujaran kebencian atau intoleransi di media sosial. “Hasil survei menunjukkan 79% pelajar percaya cara itu dapat dilakukan,” kata Khelmy.
Maarif Institute kemudian membuat seminar konten positif sebagai bagian dari program Creators for Change Indonesia bersama Google di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya.
Ditujukan untuk para pelajar, kegiatan itu berisi pembuatan konten positif sehingga mereka tergerak mengedarkan konten positif di media sosial dan tidak menyebarkan ujaran kebencian atau intoleransi.
“Hasilnya, 84% pelajar setelah diberi workshop berkeinginan membuat konten positif. Hanya 10% yang menjawab tidak dan 6% menjawab tidak tahu,” ungkap Khelmy.
Dari hasil riset juga diketahui, kegiatan itu secara khusus berdampak positif. Khelmy mengatakan, setelah diberi pemahaman, pelajar terdorong untuk berbicara kepada lingkungan mengenai ujaran kebencian sehingga mereka lebih percaya diri melawan ujaran kebencian.
Manfaat literasi digital
Pada saat yang sama, Dirjen Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangerapan menuturkan konten negatif menjadi ancaman di era digital.
Saat ini, tutur dia, jumlah pengguna internet di Indonesia 132 juta dan 106 juta di antara mereka merupakan pengguna media sosial. Namun, penggunaan media sosial tanpa peningkatan literasi digital akan memunculkan masalah.
“Berdasarkan riset Cigi 2016, sebanyak 65% penduduk indonesia percaya dengan yang dibaca di internet. Padahal, belum tentu informasi itu benar,” ucap Semuel.
Menurut dia, diperlukan penanganan dari hulu ke hilir. Dari hulu berupa gerakan edukasi untuk meningkatkan literasi digital di masyarakat.
Di hilir, caranya dengan mengontrol konten di internet. Semuel menjelaskan, dengan UU Nomor 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, kepolisian dapat menegakkan hukum bila ada konten bertentangan dengan aturan hukum di Indonesia.
Secara terpisah, Kepala Divisi Mabes Polri Irjen Setyo Wasisto berpesan masyarakat harus bijak menggunakan media sosial. “Kalau sesuatu dibagikan, jejak digitalnya masih ada walau sudah dihapus,” ucapnya.
Polri saat ini pun telah membuat tiga subsatuan kerja baru untuk melakukan kontra opini ataupun narasi negatif dan penegakan hukum. (X-11)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved