Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Manfaat Ekonomi dari Status Hutan Adat

(Wnd/M-3)
09/12/2017 02:46
Manfaat Ekonomi dari Status Hutan Adat
(MI/Dede Susianti)

SEMBUNYI-SEMBUNYI, begitulah keseharian Een Suryani beberapa waktu lalu saat akan menggarap tanah di hutan adat milik Kasepuhan Karang yang masih dalam cakupan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Wajar saja, wilayah hutan adat yang berada di TNGHS wilayah Porvinsi Banten itu belum diakui negara. Akibatnya, kegiatan mengambil kayu bakar pun bisa dianggap ilegal. Kondisi itu pun membuat warga resah. Een menuturkan mereka mendambakan kondisi lebih bebas seperti yang didapatkan orangtua mereka dulu. "Malah, zaman orangtua saya boleh menanam sesuai dengan arahan petugas. Saat panen harus bagi hasil," ungkap perempuan berusia 33 tahun itu di sela-sela acara diskusi Pengelolaan Hutan Adat di Jakarta, Selasa (5/12).

Kini keinginan mereka bukan lagi mimpi. Sudah hampir satu tahun ini masyarakat Kasepuhan Karang, Lebak, Banten, lebih leluasa untuk menggarap tanahnya. Hal tersebut disebabkan penetapan status hutan adat oleh pemerintah. Luas hutan adat mereka mencapai 486 hektare. Meski bebas melakukan apa pun di tanahnya, Een dan masyarakat sekitar tetap berpegang pada kearifan lokal yang sudah dijalankan turun-temurun. Seperti tidak menebang pohon bambu di wilayah mata air dan menebang pohon yang sudah tua lalu menggantinya dengan tanaman baru.

Tidak bekerja sendiri, juga mendapatkan fasilitas bantuan dari pemerintah dalam bentuk sekolah lapang dan mesin pencacah kompos. "Kami diajari membuat pupuk organik, cara melakukan stek, cangkok, juga pembibitan. Ya sebenarnya hal tersebut sudah kami ketahui, tetapi belum pernah dilakukan. Pun dengan pembibitan, ternyata harus mengambil dari biji pohon yang sudah tua," tukas Een yang mengikuti sekolah lapang di wilayah persemaian milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan selama tiga hari. Seusai mengikuti pelatihan yang juga diikuti 29 warga lainnya itu, Een kembali ke desa dan menyebarkan informasi yang didapat.

Ia dan warga peserta sekolah lapang lainnya mendorong pemuda desa agar tetap menjujung adat istiadat setempat.

Pengeringan buah
Proses disahkannya wilayah Kasepuhan Karang sebagai hutan adat itu juga berkat pendampingan oleh lembaga nirlaba, Rimbawan Muda Indonesia (RMI). Direktur Eksekutif RMI Mardha Tillah menuturkan pihaknya tidak memilih masyarakat adat yang menjadi target pendampingan. Masyarakat sendiri yang menginginkan mendapatkan status hutan adat dan meminta pendampingan. Namun, Tillah mengungkapkan, meski status hutan adat memberikan kebebasan pemanfaatan lahan, itu belum menjadi jaminan akan perbaikan ekonomi. Karena itu, bantuan peralatan maupun pelatihan untuk meningkatkan kemampuan mengolah sumber daya alam sangat diperlukan.

Di hutan adat Kasepuhan Karang, salah satu potensi besar hasil bumi adalah buah-buahan. Hal itu diakui pula Direktur Bina Usaha Perhutanan Sosial dan Hutan Adat, Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) KLHK, Hargyono Soemadi.
Hargyono menuturkan saat musim durian, harga buah tersebut bisa jatuh hingga Rp3.000. Dengan begitu, perlu ada terobosan agar hasil bumi berupa buah yang dimiliki masyarakat tersebut tidak lagi dihargai rendah. Mardha Tillah pun mengusulkan pengolahan hasil panen itu dengan mesin pengeringan buah.

"Kalau musim, berlimpah. Akan tetapi, habis itu jedanya panjang sampai musim lagi. Upaya mengisi kekosongan dan masyarakat tetap menerima pemasukan, saya ingin mengajukan permintaan bantuan mesin pengering buah," kata perempuan yang karib disapa Tillah itu.
Di sisi lain, Tillah menjelaskan masih banyak permasalahan ekonomi di kalangan masyarakat adat tersebut. Masyarakat kerap menggadaikan hak garap lahan kepada tetangga supaya bisa mendapat uang tunai, tetapi kehilangan mata pencaharian. Hal ini yang masih menjadi pekerjaan rumah untuk segera dicarikan solusi.

Gandeng pihak lain
Dengan banyaknya persoalan yang dihadapi masyarakat hutan adat, dibutuhkan keterlibatan banyak pihak untuk ikut mengatasi. Untuk itu pula KLHK berupaya menggandeng pihak lain seperti perbankan dalam lingkup BUMN. Kasepuhan Karang saat ini sedang dikunjungi pihak perbankan, yang sedang melakukan validasi tentang kebutuhan dan potensi yang dimiliki wilayah tersebut. "Karena kami tidak hanya mengurus hutan adat, kami carikan solusi seperti kerja sama dengan BTN mungkin bisa dibantu melalui kegiatan CSR. Juga promosikan ke BLU (Badan Layanan Umum) untuk pemberian pinjaman," tukas Hargyono.

Jika pada tahun lalu terdapat delapan hutan adat yang telah disahkan dan bisa meminta bantuan fasilitas melalui pengajuan proposal ide pemenuhan kebutuhan, tahun ini terdapat sekitar sembilan hutan adat yang akan difasilitasi.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya