Headline

Disiplin tidak dibangun dengan intimidasi.

Rapor Lingkungan untuk Gawai

Rio/M-3
28/10/2017 07:01
Rapor Lingkungan untuk Gawai
(DOK. GUIDE TO GREENER ELECTRONICS 2017)

BERNIAT membeli ponsel baru? Jika begitu, sudah saatnya memperhitungkan juga dampak lingkungan dari gawai tersebut.

Terlebih karena merek-merek gawai yang sedang populer di dalam negeri nyatanya belum cukup 'hijau'. Hal itu terlihat dari laporan analisis terbaru Greenpeace Amerika Serikat mengenai dampak lingkungan dari produk gawai. Pada laporan Guide to Greener Electronics 2017 yang dirilis Selasa (17/10) terdapat 17 jenama gawai yang dianalisis.

Mereka kemudian diberikan penilaian dalam tiga kategori, yakni energy, resources, dan chemical. Kategori pertama merupakan penilaian terhadap upaya produsen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dalam rantai produksinya dan upaya penggunaan energi terbarukan.

Kategori resources mencerminkan upaya industri untuk mengurangi konsumsi bahan baku dengan cara meningkatkan masa hidup produknya. Sementara itu, kategori chemicals untuk menilai upaya produsen dalam mengurangi penggunaan bahan kimia berbahaya dalam produk ataupun proses pembuatannya.

Untuk menganalisis itu Greenpeace bertemu dengan para produsen, kecuali Oppo, Vivo, dan Xiaomi yang disebutkan menolak untuk berbagi dan berdiskusi soal upaya kelestarian mereka.

Dalam penilaian itu ketiga jenama itu pun menduduki tiga peringkat terbawah dengan masing-masing mendapat total nilai F. Di atas mereka ialah Amazon (nilai F) dan kemudian Samsung (nilai D-).

Greenpeace menyebut bahwa target Samsung untuk mengurangi GRK masih lemah, sedangkan emisi per tahun mereka naik 10%-15% per tahun. Peringkat teratas ditempati Fairphone dengan total nilai B. Peringkat kedua ditempati Apple dengan nilai B-.

Apple disebutkan sebagai satu-satunya perusahaan yang memiliki 100% komitmen untuk energi terbarukan dalam rantai suplai mereka. Apple dan Google (peringkat 10 dengan total nilai D+) juga merupakan perusahaan yang berhasil tidak lagi menggunakan brominated flame retardants (BFR) dan polivinilklorida (PVC) pada produk mereka. BFR termasuk dalam jenis bahan kimia berbahaya.

Greenpeace menyebutkan emisi GRK dari 17 perusahaan itu mencapai lebih dari 103 juta metrik ton CO2 ekuivalen pada 2016. Jumlah itu hampir menyamai level emisi Republik Ceko. Tidak hanya itu, jumlah sampah elektronik di seluruh dunia diperkirakan melewati 65 juta metrik ton pada 2017.

Indonesia

Masyarakat Indonesia nyatanya juga harus belajar menghemat konsumsi gawai sebab limbah elektronik di Tanah Air diperkirakan mencapai 745 kiloton setiap tahunnya. "Total 745 kiloton itu hampir setara dengan muatan sekitar 29 bus gandeng Trans-Jakarta yang diisi penuh sampah, jadi bisa dibayangkan kan berapa banyaknya sampah elektronik yang dihasilkan di Indonesia setiap tahunnya," tutur Juru Kampanye Detox Greenpeace Indonesia, Ahmad Ashov Birry, di Jakarta, Rabu (25/10).

Ashov yang mengutip laporan dari United Nations University pada 2014 itu menyebut bahwa setiap individu di Indonesia telah menghasilkan sebanyak 3 kilogram limbah elektronik setiap tahun. "Di satu sisi konsumsi terus meningkat karena banyaknya permintaan dan harga yang semakin terjangkau. Di sisi lain masih banyak produsen yang tidak bisa atau lamban dalam mengurusi permasalahan limbah elektronik yang dihasilkan," sambungnya.

Tidak hanya itu, seperti yang tergambar pada laporan Greenpeace AS, komponen material utama pada gawai umumnya masih berbahaya. Untuk mendapatkan 100 gram mineral di tiap ponsel ternyata ada 340 jenis bebatuan yang harus diproses. "Dalam hal ini, di Indonesia pun sudah terjadi khususnya di Pulau Bangka Belitung yang setiap harinya tanah di sana selalu dikeruk para penambang untuk mendapatkan timah yang kemudian dijadikan komponen barang elektronik," jelas Ashov.

Kondisi itulah yang juga ditakuti Greenpeace Indonesia mengingat saat ini pemerintah sudah menetapkan besaran tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) sebesar 30% yang sudah ditetapkan sejak 1 Januari 2017 lalu. Menurutnya, jika tidak ada kebijakan di sektor rehabilitasi lingkungan, hal tersebut diyakini dapat memperburuk kondisi alam Indonesia.

"Memang saat ini Indonesia masih sedikit dalam hal produksi komponen untuk barang elektronik yakni sebesar 30%. Namun, jika tetap meningkat, akan ditakuti jika penggunaan energi dari produksi komponen itu merusak lingkungan karena masih menggunakan energi bahan bakar fosil yakni batu bara," paparnya.

Ashov menambahkan bahwa di Indonesia kebijakan atau regulasi terkait dengan pengelolaan bahan kimia masih sangat lemah. Hingga saat ini pun, Indonesia masih belum memiliki peraturan yang secara spesifik mengatur bagaimana limbah elektronik yang dihasilkan pihak produsen untuk dikelola secara maksimal. Oleh sebab itu, penting untuk menuntut kesadaran dari pihak produsen agar mau mengambil kembali sampah produk mereka.

Kemasan

Sementara itu di Indonesia, Oppo menyatakan bahwa pihaknya sudah mulai berupaya melakukan prinsip gawai hijau. Namun, untuk komponen atau bahan baku pada ponsel, Oppo mengaku belum mengetahui pastinya karena keseluruhan bahan masih impor. "Kalau bahan dasar atau komponen memang belum bisa dipastikan itu sudah ramah lingkungan atau belum karena semuanya impor," tutur Public Relations Oppo Indonesia, Aryo Meidianto.

Namun untuk saat ini, Aryo mengatakan bahwa Oppo sudah fokus pada kemasan produk yang ramah lingkungan. Salah satunya dengan cara mengurangi jumlah volume kemasan pada setiap produk ponsel pintar.

"Kita sudah mulai dengan kemasan yang ramah lingkungan. Karena jika dulunya peletakan antarperangkat di dalam satu kemasan itu renggang-renggang, sekarang sudah kita persempit untuk mengurangi volume kemasan dalam setiap produk," sambungnya.

Selain itu, ke depan pihak Oppo juga sedang berencana untuk tidak menyertakan headset dalam satu perangkat. Pasalnya, banyak konsumen yang menggunakan headset dalam durasi yang cepat.

"Kita sedang mencoba tidak menyertakan headset ke dalam produk. Namun itu masih rencana karena kita harus melihat dulu respons dari konsumen," pungkasnya.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya